Minggu, 28 September 2008

tarian banyuwangi yang saya bangga2kan,.. meskipun saya gak bisa menarikanya,.. saya gak tau apakah saya terlahir sebagai orang osing .,.. kayaknya bukan deh,... soalnya bahasa osing saya juga gak bisa sama sekali meskipun saya tinggal di sekitar banyuwangi. tapi siapapun saya saya cinta dan suka buadaya banyuwangi,.. dan saya sangat menyesalkan bila budaya banyuwangi kian melemah. melalui media ini saya mencoba mengenalkan buadaya banyuwangi yang saya sendiri gak pahan. tapi saya akan belajar memahaminya. punjari Gandrung Banyuwangi Dance t's a traditional dance from east Java, Indonesia Thetel - Thetel ( java dance)

Sabtu, 30 Agustus 2008

Gandrung: Tarian Perlawanan Orang Using PDF Cetak E-mail
Jika dibanding dengan masyarakat lain di Jawa Timur, tampaknya komunitas Using memiliki seni tradisi yang lebih banyak dan beragam. Sebut saja beberapa diantaranya; Gandrung, Jinggoan, Mocoan, Kuntulan, dan Angklung. Masing-masing jenis seni ini pun memiliki maknanya sendiri-sendiri. Dari semuanya mungkin Gandrung menempati posisi yang istimewa. Begitu istimewanya, sehingga pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengukuhkan Gandrung sebagai maskot Kabupaten yang terletak di ujung timur Propinsi Jawa Timur itu, menggantikan lambang sebelumnya; ular berkepala Gatot Kaca. Pengukuhan itu diprakarsai sendiri oleh Bupati Banyuwangi, Samsul Hadi, bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Banyuwangi, 18 Desember 2002 yang lalu. Soal penetapan Gandrung sebagai maskot Banyuwangi tidaklah tanpa kontroversi. Anggota DPRD dari PPP menolak dengan keras keputusan ini, karena menurut mereka, gandrung tidak sesuai dengan Islam, padahal mayoritas masyarakat Banyuwangi pemeluk Islam. Pandangan politisi dari PPP ini mendapat tanggapan serius dari kalangan budayawan yang menganggap bahwa Gandrung tidak melanggar norma-norma Islam, dan justru kesenian inilah yang khas Banyuwangi. Para budayawan juga menganggap bahwa Gandrung mengandung nilai-nilai simbolis perjuangan wong Blambangan sekaligus identik dengan jati diri orang Using dan juga merepresentasikan karakter orang Using yang berakhlak aclak, ladak, dan bingkak (sok tahu, arogan dan tak mau tahu urusan orang lain).

Sebagai tari pergaulan, gandrung tentu saja sangat popular, walaupun dalam beberapa hal mirip dengan tayub, gambyong, jogged, lengger, teledhek, dan ketuk tilu di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Madura Pendalungan. Secara historis, Gandrung tak dapat dilepaskan dari Seblang, sebuah kesenian yang sarat ritual yang keberadaannya terbatas hanya di dua tempat yang terletak di sebelah barat Banyuwangi, yakni desa Bakungan dan desa Olehsari. Pentas Seblang diselenggarakan setahun sekali sebagai upacara ritual bersih desa atau selamatan desa dalam rangka menolak bala, keselamatan warga desa, penyembuhan, kesuburan, dan mengusir roh-roh jahat yang mengganggu ketentraman warga desa. Meskipun unsur hiburan dalam gandrung tampak menonjol, namun di dalamnya terdapat muatan kepercayaan kolektif yang sangat kuat.

Sandi

Kekhasan Gandrung Banyuwangi tampak pada lirik lagunya yang berbahasa Using. Sementara tari-gamelan mengesankan perpaduan Jawa-Bali adalah tampilan yang membedakan dari kesenian kesenian Jawa dan Sunda. Gending-gending yang dinyanyikan berkarakter perjuangan. Lirik lagu-lagu tersebut menggambarkan etos perjuangan rakyat Blambangan sejak zaman VOC. Di dalamnya banyak menggunakan simbol yang hanya dimengerti oleh masyarakat Banyuwangi.

Menurut cerita lisan, kesenian gandrung muncul bersamaan dibangunnya kota Banyuwangi pada saat pemerintahan Mas Alit. Antara lain dikisahkan: Setelah perang Bayu usai, Jaksanegara mengundurkan diri sebagai bupati. Atas usul patih Blambangan yang mendapat sebutan Ki Juru kunci, kompeni menunjuk Mas Alit yang ada di Bangkalan sebagai bupati pada tanggal 7 Desember 1773. Sebelum Mas Alit dilantik sebagai bupati dengan gelar Raden Tumenggung Wiraguna pada tanggal 1 Februari 1774, ia mengusulkan agar ibukota Blambangan dipindahkan. Kompeni menyetujui dengan menawarkan tiga tempat, yaitu Kotta, Ulupangpang, dan Pakusiram. Namun Mas Alit menolak dan menawarkan membuat kota baru di sebelah utara dengan membabad hutan Purwaganda. Setelah dilantik Mas Alit mulai mengerahkan tenaga membabat hutan Purwaganda yang kemudian dikenal dengan nama kota Banyuwangi. Bersamaan dengan dibangunnya kota Banyuwangi muncul kesenian yang diberi nama gandrung.

Sejarah mencatat peristiwa puputan (perang habis-habisan) yang heroik itu terjadi di Bayu, Kecamatan Songgon Banyuwangi. Peristiwa ini amat bersejarah sehingga dijadikan sebagai hari lahir Kabupaten Banyuwangi (meski masih menjadi kontroversi hingga sekarang). Peperangan ini pulalah yang melegendakan nama Sayu (Mas Ayu) Wiwit sebagai tokoh pejuang wanita dari Banyuwangi yang menjadi inspirasi munculnya Tarian Seblang. Bahkan oleh sebagian masyarakat, arwah Sayu Wiwitlah yang dipercaya telah menuntun penari Seblang, terutama pada bagian puncaknya ketika penari Seblang sedang melantunkan gending Sukma Ilang.

Perang Bayu sendiri terjadi ketika VOC berkeinginan untuk menancapkan dominasinya di bagian timur Pulau Jawa sebagai upaya untuk merebut Bali. Watak imperialis yang diperlihatkan oleh VOC tentu saja membangkitkan perlawanan dari rakyat Blambangan yang dipimpin oleh Pangeran Jagapati alias Rempeg. Tetapi akhirnya Blambangan jatuh ke tangan VOC setelah benteng pertahanan di Bayu berhasil dikuasai. Episode inilah yang dilukiskan oleh Hasan Ali sebagai satu tragedi bagi sejarah rakyat Blambangan. “Peperangan ini memakan korban tidak kurang dari 60.000 orang rakyat dari jumlah keseluruhan masyarakat Blambangan yang waktu itu tidak sampai 65.000 orang” tulis Hasan Ali dalam Sekilas Puputan Bayu: Tonggak Sejarah Hari Jadi Banyuwangi.

“Betapapun sakitnya kekalahan dalam perang itu, amat lebih sakit lagi melihat kenyataan bahwa yang memerangi rakyat Blambangan saat itu adalah saudara-saudara sesama pribumi dari Jawa dan Madura yang diperalat oleh VOC,” tambah Hasan Ali yang juga ayah artis Emilia Contessa dan kakek artis Denada ini. “Karena itu,” sambung Hasan Ali, “Kekecewaan masyarakat Using sempat membuat suku Using menutup diri terhadap komunitas luar. Bahkan dari kekecewaan sejarah itulah nama ‘Using’ dipergunakan untuk mengidentifikasi masyarakat Blambangan.”

Konon, akibat perang Bayu, sebagian besar pasukan melarikan diri ke hutan atau menyingkir ke pedalaman. Dalam jangka waktu yang lama, mereka bertahan di hutan, melakukan perang gerilya. Komunikasi diantara para gerilyawan dapat terjalin berkat partisipasi gandrung lanang yang pada awal pemunculannya digunakan sebagai media perjuangan. Para gandrung lanang menari sambil membawakan lagu-lagu perjuangan (bahasa sandi) mendatangi tempat-tempat yang dihuni rakyat Blambangan untuk memberi informasi tentang keberadaan tentara Belanda. Selain itu mereka juga mempengaruhi dan menganjurkan rakyat Blambangan agar meninggalkan hutan, keluar dari tempat persembunyiannya untuk segera membentuk masyarakat baru.

Pada masa pemerintahan Mas Alit, kesenian Gandrung banyak mengalami perubahan baik dalam tata busana, instrumen musik, maupun lagu-lagu (gending-gending) paju untuk mengiringi tari dan seni pencak silat. Perubahan juga terjadi pada primadona gandrung, yang semula diperankan oleh pria kemudian diganti perempuan. Pola pementasan gandrung terdiri atas: Jejer, Paju, Seblang-seblang. Musik iringan gending jejer yang semula gegap-gempita beralih menjadi irama lembut dan penari mulai melantunkan tembang Padha Nonton sebagai lagu wajib. Gending Padha Nonton terdiri atas delapan bait dengan tiga puluh dua baris. Biasanya gending dilagukan delapan baris saja dan untuk melagukan delapan baris berikutnya selalu dimainkan dua atau tiga lagu sebagai selingan. Dalam gending selingan banyak dipadati pantun-pantun daerah setempat yang disebut basanan dan wangsalan, seperti tampak dalam syarir Padha Nonton berikut:

Padha nonton

Pundhak sempal ring lelurung

Ya pedhite, pundhak sempal

Lambeyane para putra

Para putra

Kejala ring kedhung liwung

Ya jalane jala sutra

Tampange tampang kencana

Kembang Menur

Melik-melik ring bebentur

Sun siram-siram alum

Sunpethik mencirat ati

Lare angon

Gumuk iku paculana

Tandurana kacang lanjaran

Sak unting kanggo perawan

Kembang gadhung

Sak gulung ditawa sewu

Nora murah nora larang

Kang nawa wong adol kembang

Sumbarisena ring Tenmenggungan

Sumiring payung agung

Lambayano membat mayun

Kembang abang

Selebrang tiba ring kasur

Mbah Teji balenana

Sunenteni ring paseban

Ring paseban

Dhung Ki Demang mangan nginum

Selerengan wong ngunus keris

Gendam gendhis kurang abyur

Gending Padha Nonton sebenarnya puisi yang menggambarkan perjuangan untuk membangkitkan semangat rakyat Blambangan melawan segala bentuk penjajahan. Meskipun demikian, keindahan syairnya juga mampu menciptakan ritme vokal untuk mengiringi tari penghormatan sebagai ucapan selamat datang bagi para tamu, seperti halnya tarian gambyong pada awal pertunjukan tayub atau Kidung Salamat pada pertunjukan jaipong. Pesan perjuangan penuh makna simbolis ini dituangkan melalui kata-kata sandi. Makna pesan inilah yang kemudian menjadi dasar perwatakan masyarakat Using dalam menciptakan identitasnya.

Perlawanan

Kesenian Gandrung, tidak lain adalah gambaran perlawanan kebudayaan sebuah masyarakat. Perlawanan terhadap berbagai ancaman, baik yang bersifat fisik maupun pencitraan negatif yang berulang kali terjadi dalam kesejarahan masyarakat Using. Dalam konteks pencitraan, misalnya tampak bagaimana sejarah nasional menggambarkan sosok Ronggolawe yang memberontak karena menjadi korban intrik internal di lingkaran Prabu Wijaya, Raja Majapahit pertama. Nasib Ronggolawe berakhir sebagai pemberontak di bumi Sadeng. Padahal, masyarakat setempat mencatat nama Ronggolawe sebagai tokoh yang berperan sangat besar dalam membantu Prabu Brawijaya mendirikan kerajaan Majapahit. (Dan nasib serupa pun dialami oleh tokoh-tokoh Majapahit sejamannya: Lembu Sora dan Nambi).

Masyarakat dan budaya Using secara historis adalah masyarakat Blambangan, sebuah kerajaan di wilayah ujung timur Pulau Jawa. Sedangkan lahirnya kota Banyuwangi, sebagai nama kabupaten erat kaitannya dengan kerajaan Blambangan yang pada awalnya lebih merupakan bagian dari kerajaan Majapahit. Tapi daerah yang dikenal subur bahkan merupakan lumbung padi Majapahit, kemudian menjelma menjadi pusat kekuatan oposisi yang dalam versi Majapahit maupun kerajaan Jawa Kulon sesudahnya selalu dikategorikan sebagai “konsentrasi pemberontak” dan memuncak dalam peperangan Paregreg (1401-1404). Perang Paregreg sendiri mengilhami penulis cerita perang antara Damarwulan dan Menakjinggo yang kemudian sering dilakonkan dalam pertunjukan Ketropak Mataram dan Jinggoan Banyuwangi dalam versi yang berlawanan. Jika dalam Ketropak Mataram Menakjinggo ditampilkan sebagai pemberontak, penindas rakyat, bertubuh cacat, maka di Jinggoan Banyuwangi ia ditampilkan sebagai pahlawan, gagah berani, tampan, dan memeperdulikan nasib rakyatnya.

Semua gambaran negatif tentang Minak Jinggo (Bre Wirabumi) itu ditolak keras oleh Budayawan Banyuwangi, Hasan Ali. “Itu tidak benar. Salah besar kalau Bre Wirabumi dikatakan buruk muka. Dia ngganteng, hanya saja memang ada goresan-goresan luka di wajahnya. Itupun karena pertempurannya dengan Kebo Marcuet. Dan ia berangkat ke Majapahit bukan dengan maksud memberontak, tapi sekedar ingin menagih janji Majapahit.”

Senada dengan Hasan Ali, Andang CY, seorang seniman kawakan Banyuwangi menuturkan, ”Menak Jinggo sesungguhnya adalah pahlawan masyarakat Banyuwangi. Pertama, ketika dia menumpas Kebo Marcuet yang lalim. Kedua, ketika ia mengangkat senjata melawan Majapahit yang menurutnya telah mengingkari janji untuk menghadiahinya Putri Kencono Wungu setelah mengalahkan Kebo Marcuet.” Nyatanya, Menak Jinggo dikalahkan oleh Damarwulan, seorang anak bekel (tukang kuda) yang kemudian memperistri Putri Kencono Wungu. Bahkan, kekalahan Menak Jinggo inipun berlanjut sampai pada penulisan sejarah tentangnya.

Hikmah

Sebagai satu daerah strategis untuk berinteraksi dengan Nusantara bagian timur, sejak dulu Blambangan tidak lepas dari incaran kerajaan-kerajaan besar di Jawa, termasuk Mataram Islam. Tercatat beberapa kali Sultan Agung melancarkan ekspedisinya untuk menaklukkan Blambangan, bersaing dengan Kerajaan Buleleng Bali. Meskipun gagal, usaha penaklukan ini toh telah menyakitkan perasaan masyarakat Blambangan.

Bisa jadi, letak Banyuwangi sebagai perlintasan antar kebudayaan –yang menjadikannya menjadi ajang klaim dan perebutan wilayah geografis– membawa hikmah tersendiri bagi pengembangan kebudayaan Using. Pergesekan kebudayaan sebagai implikasi dari pertarungan perebutan geografis telah mendewasakan produk kebudayaan Using sehingga menjadi sangat fleksibel terhadap unsur-unsur kebudayaan dari luat. Maka corak produk kebudayaan masyarakat Using—sebagaimana juga halnya kebudayaan Jawa—sesungguhnya kental dengan nuansa “sinkretik” dan “akulturatif”.

Orang tentu dapat melihat bagaimana maskot Kabupaten Banyuwangi sebelum Gandrung adalah ular naga berkepala Gatotkaca. Ular Naga adalah makhluk dalam mitologi Cina. Sementara Gatotkaca adalah adopsi yang dilakukan seniman wayang era Demak (Sunan Kudus dan Kalijaga) terhadap cerita Mahabarata dari India. Atau hadrah Kuntulan, Barongan Using, Angklung Caruk dan masih sangat banyak lagi.

Adakah ini semacam olok-olok kebudayaan dengan bungkus sanepan yang sangat halus? Bahwa siapapun –dan apapun– yang melintasi wilayah kebudayaan Using harus menerima kenyataan bahwa dirinya sedang dipribumikan oleh masyarakat Using. Seperti Segitiga Bermuda atau Lubang Hitam (Black Hole) di antariksa yang akan menyedot setiap materi yang melintasinya? Desantara

Sinkretisme, Sebuah Solusi PDF Cetak E-mail
 Andrew Beatty, antropolog yang cukup lama melakukan penelitian di Banyuwangi, menyatakan: Kanjeng Nabi Muhammad, leluhur desa, dan lelembut yang mbahurekso desa dikirimi al-Fatihah secara bersama dalam slametan Orang Using Banyuwangi. Lukisan yang lain, seperti dibuat Novi Anoegrajekti, tasbih dan dupa yang mengepulkan asap kemenyan bertaburan bersama dalam kehidupan keagamaan di daerah ujung timur Pulau Jawa itu. Dua lukisan yang menjelaskan tentang sesuatu sekaligus kemampuan Orang Using dan sebagian besar penduduk Banyuwangi mengawinkan Islam dan tradisi lokal. Sinkretisme—begitu banyak orang menjuluki realitas seperti itu. Sesuatu yang amat lazim dalam keberagamaan Islam Indonesia, dan Islam di mana pun. Geertz yang menelusur Islam dari Indonesia ke Maroko melihat kemiripan-kemiripan dimana sinkretisme menonjol. Sinkretisme rupanya adalah keniscayaan yang dialami bukan saja oleh ajaran-ajaran agama yang diturunkan dari langit tetapi juga kekuatan-kekuatan besar seperti modernitas, kapitalisme, sosialisme, dan marxisme. Ketika agama atau kekuatan-kekuatan itu hadir di suatu wilayah, ia selalu berhadapan dengan kekuatan kebudayaan setempat yang berdiri tegak sejak lama. Islam hadir di Pulau Jawa, misalnya, selalu digambarkan berhadapan dengan Hindu-Buddha dan tradisi Jawa itu sendiri.

Justru sinkretisme itulah kenyataan kebudayaan yang paling umum di dunia. Para pengkaji kebudayaan kontemporer sepakat bahwa tidak ada di dunia ini yang tidak sinkretik. Dalam wujudnya yang paling konkret, agama, pengetahuan, modernitas, kesenian, dan etnis adalah hasil perkawinan berbagai unsur. Sehingga, persoalan keaslian dan otentisitas menjadi sesuatu yang diragukan: adakah ia?

Lalu bagaimana dengan puritanisasi yang selalu mengimajinasi, bahkan ingin menegakkan, keaslian? Di sinilah soalnya. Para pengkaji kebudayaan percaya bahwa apa yang dirumuskan sebagai asli, karena perbedaan waktu dan ruang, ternyata adalah fantasi keaslian, bukan keaslian itu sendiri. Di samping karena yang terakhir ini lebih merupakan sesuatu yang tidak mungkin berulang persis seperti adanya, ia adalah hasil percampuran berbagai unsur yang terjadi pada masanya.

Masihkah kita risau apabila panutan kita, Kanjeng Nabi Muhammad, dikirimi al-Fatihah bersama leluhur desa? Apakah kemarahan kita akan tersulut ketika melihat bahwa tasbih dan dupa menjadi kenyataan Islam di suatu tempat? Lebih lanjut, masihkah kita hendak mengembalikan sesuatu pada aslinya? Masihkah pula kita ingin membersihkan sebuah kebudayaan atau kesenian tertentu dari campuran berbagai unsur yang dianggap mengotori sehingga menjadi “bersih” seperti aslinya?

Apakah kita mau mengulang peristiwa Rogojampi awal 2006 lalu yang menimpa endhok-endhokan hanya karena kita ingin membersihkan dan mengembalikan pada keaslian yang sesungguhnya imajinatif? Ketika apa yang kita anggap sebagai asli ternyata adalah imajinasi tentang asli, maka sebenarnya tidak ada cara lain kecuali kita menghormati kreatifitas dan ijtihad baru dalam kebudayaan termasuk dalam kehidupan keberagamaan. Desantara / Bisri Effendy

Tarian Kehidupan Gandrung Temu PDF Cetak E-mail
ImageTarian Gandrung Temu adalah tarian kehidupan. Setiap geraknya adalah riwayat. Panggungnya keseharian, di mana musim panen dan paceklik adalah dua musim yang satu dan garisnya abu-abu. Temu Mesti adalah penari Gandrung terkemuka di Banyuwangi, Jawa Timur. Meski usianya 53 tahun, posisinya dalam kesenian tradisional Banyuwangi itu belum tergeser oleh para penari muda. Tinggi badannya sekitar 170 cm, berperawakan sedang. Suaranya yang melengking jernih masih belum tertandingi.
N
amun, seperti banyak seniman tradisional, hidupnya jauh dari gemerlap. Rumahnya di Dusun Kedaleman, Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, berukuran 7 x 12 meter persegi, dengan perabotan apa adanya. Itulah hasil keringatnya selama lebih dari 35 tahun menari Gandrung. Pada masa jayanya, ia hanya sempat tidur di rumah tiga-empat hari dalam sebulan. Sekarang, pesanan pentas sekali seminggu saja sudah sangat bagus. "Banyak tontonan yang bisa dipilih orang hajatan dengan honor bersaing, seperti dangdut," kata Temu. Setiap pentas ia dan kelompoknya menerima Rp 1,5 juta. Setelah dibagi-bagi, ia mendapat honor bersih Rp 250.000. "Dulu penarinya cuma satu. Jadi honornya untuk sendiri," katanya. Mulai tahun 1995-an ada tiga-empat gandrung yang menari. Temu ditemui suatu petang setelah kampanye pemilihan kepala desa. Suaranya yang mengalun lewat pengeras suara dari truk yang berjalan mengelilingi desa masih terngiang. Temu duduk di bawah dengan pakaian sehari-hari, tersembunyi di antara sosok lima penari Gandrung muda yang berdiri di badan truk mengumbar senyum. Kerja dua jam pesanan dari salah satu calon kepala desa itu honornya Rp 60.000. "Lumayan," ucapnya. Kata "lumayan" itu bukan basa-basi. Setiap rupiah adalah nafas, terutama menjelang bulan-bulan sepi pesanan, dan ia harus membuat rempeyek teri, kedelai, dan kacang tanah untuk menyambung hidup. "Bulan puasa, Maulud dan Suro, enggak ada orang hajatan di sini," lanjut Temu. Pelanggaran Bagi Temu, hidup adalah berkesenian. Gandrung membuatnya menggandrungi hidup, seberat apa pun jalannya. Kibasan sampur Gandrung seperti mengibaskan ketaktertanggungan masalah. Karena itu, meski menyandarkan hidup pada Gandrung, uang bukan segalanya. Seperti paradoks. Ia mempertaruhkan hidupnya di situ, sekaligus tak kenal kompetisi: Gandrung lebih penting ketimbang dirinya. Sikap itu tanpa disadari menjadikannya "mangsa" bisnis kesenian dan kebudayaan yang jaring-jaringnya melampaui batas desa, bahkan wilayah negara. Temu, yang tidak pernah menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat itu, tidak tahu bahwa ia tergulung ke dalam gelombang pasar bebas, di mana multikulturalisme dimaknai tak lebih sebagai komoditi, minus penghargaan pada hak kekayaan intelektual. Suatu pelanggaran yang banal. Suara Temu menjadi bagian eksotisme "Timur" yang terus direproduksi dan secara bisnis memberikan keuntungan besar. Farida Indriastuti, kontributor lepas kantor berita Italia yang melakukan penelitian tentang multikulturalisme-diselenggarakan oleh Srinthil, majalah perempuan multikultural-menemukan, CD Temu Songs Before Dawn (Lagu Menjelang Fajar) dijual di AS antara 15 dollar-18 dollar AS, di Eropa sekitar 20 euro per keping. Nilai jualnya di satu online lebih dari 12.000 keping. Padahal lebih dari 10 online menjual reproduksi suaranya. Pertengahan Juli 1992, Amazon.com AS mencatat penjualan "Songs Before Dawn" sebanyak 284.999 copy dalam 24 jam. Foto Temu menari ditaruh di sampul belakang CD, sementara sampul depannya berhias penari Gandrung lain dari Banyuwangi. Hak ciptanya dipegang suatu lembaga pendidikan terkemuka di AS. Nama Temu tak disebut sama sekali di situ. Temu hanya tahu pernah ada orang asing yang merekam gambar dan suaranya, katanya, untuk proyek kebudayaan Indonesia. Lama rekamannya 10 jam, dengan upah Rp 60.000 atau Rp 6.000 per jam, dan Rp 25.000 per orang atau Rp 2.500 per jam untuk enam panjak (nayaga). Katanya, rekaman itu bukan untuk keperluan komersial. Di tingkat lokal pun sama saja. Suara emasnya sudah menghasilkan enam album Gandrung dan satu album versi Jaipong untuk karaoke. Honornya dihitung per paket, antara Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta, tak tergantung berapa keping CD atau kaset yang terjual. Menurut penyelidikan Farida, VCD Temu pernah terjual 10.000 keping sehari. Pada 1999 Temu dihubungi pejabat setempat untuk pentas ke Jakarta, tetapi lalu diganti orang lain, tanpa pemberitahuan. Karena itu, ia menolak ketika ditawari berangkat ke Kalimantan Timur beberapa waktu lalu. Suatu hari, seorang pejabat memberi tahu, Temu mendapat penghargaan internasional. Ternyata penghargaan itu dari Dinas Pariwisata bekerja sama dengan Pendidikan Seni Nusantara (PNN). Gambar dari sertifikat "internasional" itu dibingkai kayu murahan berupa fotokopi sampul rekaman VCD dari proyek kesenian rakyat lembaga filantrofi internasional yang merekam suara dan tarian Temu bertahun-tahun lalu itu. "Lha saya bisa apa?" itu jawabnya ketika ditanya bagaimana ia menyikapi semua itu. "Saya kembalikan saja pada Yang Punya Hidup." Sejak tahun 1980 Temu hidup sendiri. "Malas nggodok wedang. Capek," katanya. Dua perkawinannya gagal, tanpa anak. Sekarang ia mengasuh cucu keponakan dan merawat kakak ibunya "Enak sih punya suami. Tapi daripada sakit gigi, he-he-he.." Jalan Hidup ImageSejarah hidup Temu sebagai penari Gandrung kental diwarnai tradisi. Waktu kecil, ceritanya, ia sakit-sakitan, tak mau makan. Orangtua membawanya kepada seorang dukun bernama Mbah Kar untuk di-suwuk. Sepulang dari situ, Temu kecil tiba-tiba minta makan. Ibunya membawa dia ke rumah juragan Gandrung bernama Mbah Ti’ah. Di situ Temu makan sangat lahap. Lalu Mbah Ti’ah mengatakan, "Jadikan dia gandrung kalau sudah besar." Sejak itu, Temu kecil mulai suka menari. Darah seni sebenarnya mengalir dari garis ayahnya. Sang ayah adalah penari ludruk. Kakeknya ahli mocoan lontar. Meski awalnya tak mau jadi penari Gandrung, Temu mulai naik pentas pada usia 15 tahun. Tahun 1969 itu penari Gandrung perempuan berada di puncak kejayaan. Gandrung Banyuwangi didominasi penari laki-laki sampai tahun 1950-an. "Mula-mula takut," kenangnya. Tak lebih dari setahun, Temu menapak jenjang sri panggung. Honornya jauh di atas penari-penari seniornya. Lirik lagu ciptaannya mengena dan sering menohok persoalan yang dihadapi penonton. Temu mengaku tak pernah baca mantra sebelum pentas. "Kalau pakai itu, cuma bertahan sebentar," katanya. Untuk menjaga kualitas suara, ia tak makan pedas dan gorengan, dan mempertahankan syarat utama: menahan kencing semalaman atau sekitar sembilan jam! Seandainya dilahirkan kembali, apakah ia mau meniti jalan yang sama, sebagai penari Gandrung? Jawab Temu, "Saya mau tidur pada waktunya orang tidur. Bukan teriak-teriak nyanyi dan pencilatan menari.." Kompas, 26 Oktober 2007. Maria Hartiningsih
Dari Kemiren ke Hollywood PDF Cetak E-mail
ImageMalam itu hujan mengguyur. Udara dingin menusuk tulang. Di ujung Desa Kemiren, Banyuwangi, tersua panggung gandrung terop lengkap dengan panjak dan niyaga pengiring pengantin. Tata panggungnya sederhana. Pencahayaan seadanya. Dari belakang muncul gandrung Temu melenggok, mengibaskan sampur, dan menggoyang pinggulnya yang sintal diiringi dua gandrung muda.

G
andrung Temu begitu bertenaga. Tak tersirat usianya yang telah separuh abad lebih. Di wajahnya tebersit gurat bahagia. Pipi merona merah, kulit langsat bersinar, dan mata berbinar. "Itu berkat srensen," kata perias Temu. Konon srensen dipakai agar si gandrung tampak cantik memikat.

Menguasai tembang-tembang klasik, Temu juga piawai menyapa penonton dan melayani pemaju gandrung tanpa pilih-pilih. Sesekali tangannya bergerak cepat, menangkis keisengan pemaju. "Kalau ada yang mau mencium, omprok (mahkota) ini senjata saya," kata Temu. Tak ayal, dalam saban pentas gandrung Temu selalu jadi primadona.

Keunikan suara Temu menyeruak hingga menggugah rasa ingin tahu banyak peneliti atau etnomusikolog, dari dalam dan luar negeri. Bagi para peneliti, Temu juga merupakan sebuah korpus ilmu pengetahuan etnik yang unik. Kepopuleran Temu sampai mendorong para peneliti menjalin kerja sama dengan organisasi nirlaba dan lembaga donor internasional. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), Ford Foundation (FF), serta Center for Folklife Programs and Culture Studies Smithsonian Institution mensponsori proyek Seri Musik Indonesia, menghasilkan album bertajuk Nyanyian Menjelang Fajar: Gandrung Banyuwangi.

Pada Juni 1953, Ford Foundation membuka kantor pertamanya di Jakarta, hanya satu kamar di Hotel des Indes. Selama 50 tahun Ford Foundation dan mitra kerjanya di Indonesia memberikan dukungan hibah berupa proyek seni budaya, seperti penelitian dan dokumentasi budaya, pelestarian benda dan penguatan kedudukan akademis dari ilmu seni budaya, khususnya etnomusikologi.

[....]

Fokus baru, Ford Foundation bersama MSPI adalah memprakarsai sebuah proyek penelitian mengenai dampak dari Undang-undang Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) terhadap kesenian tradisional; dan juga proyek revitalisasi untuk menjamin pewarisan kesenian tradisional dari seniman-seniman generasi lama ke generasi baru (Philip Yampolsky, Program Officer Art and Culture, Jakarta, Desember 2005).

Kajian dan analisis tentang gandrung menembus batas negara. Peneliti asing seperti Joh Scholte, Paul A Wolbers, Bernard Arps, dan Philip Yampolsky singgah lama di Banyuwangi. Temu mengenang, "Saya kenal Pak Philip tahun 1980. Terus dia tanya, gerakan apa itu? Saya jawab ini tarian terbang...!" Dari perjumpaan yang liat itu, Philip Yampolsky, musikolog dan pejabat program Art and Culture, Ford Foundation, merekam Temu pada 15 Oktober 1990 di Kemiren.

Angka fantastis

Sebelum kenal Philip Yampolsky, pada 1975 Temu telah masuk industri rekaman di Banyuwangi. Album kompilasi Temu, Disco Etnik Banyuwangi, yang direkam Sandi Record mampu menembus angka penjualan fantastis: 50.000 VCD dan 10.000 kaset dengan distribusi meliputi Jawa, Madura, dan Bali. Ironisnya, aktor penting di balik label Sandi Record mengeluh merugi walaupun mereka mengantongi untung Rp 350 juta. Toh, karena masih bisa bernegosiasi, Temu menganggap honor Rp 1 juta per lagu cukup baik. Temu sadar terseret arus modal yang sangat besar dari industri rekaman. Kini ia berurusan pula dengan organisasi nirlaba serta lembaga donor internasional.

ImageSekeping CD Song Before Dawn yang dinyanyikan Temu dan tergeletak di meja ruang tamu Temu telah membuka arah jalan penelitian saya (yang berlangsung di Desa Kemiren, Desa Olehsari, dan Kota Banyuwangi 2 Agustus-2 September 2007, dilanjutkan di Kota Jember 3-13 September 2007). Begitu saya telusuri, ternyata CD itu (edisi Indonesianya bernama Gandrung Banyuwangi) dijual di Toko Buku Kalam, Jakarta. Pikir saya, bila CD-nya bisa dibeli bebas di Jakarta, tentu jalur distribusinya meluas ke aras internasional. Dugaan saya tepat! CD Song Before Dawn didistribusikan ke berbagai negara, dari kawasan Asia Pasifik, Uni Eropa, Eropa Timur, Amerika Serikat dan Amerika Latin dalam format CD, kaset, dan unduhan (download) via internet. Saya tak mengira bila penelitian tentang gandrung Temu akan melompat dari aras lokal menuju global.

Bila benar CD Song Before Dawn tak dikomersialkan, mengapa ia diperjualbelikan sedemikian luas? Jalur distribusinya mudah dilacak di internet. Di amazon.com (AS), misalnya, harga per keping CD Temu 16,98 dollar AS, MP3 unduhan 8,99 dollar AS, dan unduhan 0,99 dollar AS per lagu. Di amazon.com (Perancis), harga per keping CD 20 euro dan MP3 unduhan 8,99 euro.

Pada medio Juli 1992, amazon.com (AS) mencatat angka penjualan album CD Song Before Dawn sebanyak 284.999 keping (dalam tempo 24 jam). Bila dihitung dengan kurs Rp 10.000 per dollar AS (Rp 189.900/CD), hasilnya Rp 550.418.102.000. Angka yang fantastis!

Pada 8 Februari 1991 amazon.com (Perancis) mencatat angka penjualan CD Song Before Dawn 261.752 keping. Bila dihitung dengan kurs Rp 14.000 per euro (Rp 280.000/CD), hasilnya Rp 73.290.560.000. Angka Rp 73.290.560.000 ini hanya dari penjualan CD Song Before Dawn, belum termasuk penjualan kaset atau MP3 unduhan.

Dalam kurun tahun 1992–1997, kurs rupiah atas dollar AS ada di kisaran Rp 2.500– Rp 5000 (sebelum terjadi krisis moneter pada Juli 1997), begitu juga kurs rupiah atas euro. Toh, bila dihitung dengan kurs Rp 2.500 (Rp 42.450/CD), tetap saja pendapatan dari penjualan CD Song Before Dawn masih sangat besar, Rp 12.310.457.550. Saya tidak bisa memastikan berapa angka penjualan album Song Before Dawn tahun-tahun terakhir (2000-2007) saat kurs rupiah atas dollar AS mencapai Rp 10.000. Hingga tahun 2000-an, penjualan album Song Before Dawn masih bisa dilihat di situs Smithsonian Global Recordings (AS) seharga 15.00 dollar AS/CD dan amazon.com (Perancis) seharga 20 euro/CD.

Dari berbagai situs toko musik online di pelbagai negara— kecuali Uni Afrika dan Timur Tengah—yang dapat saya catat, tampak bahwa CD Temu tak hanya dijual di amazon.com (AS) dan amazon.com (Perancis). Penjualan juga dilakukan oleh CdeMusic (Distribution Program of Electronic Music Foundation) yang memiliki jaringan internasional, seperti CdeMusic Store Jepang (17.00 dollar AS/CD), CdeMusic Store Australia, CdeMusic Store Perancis, dan CdeMusic Store California.

Selain di amazon.com Jepang (2.500 yen/CD), amazon.com Inggris, amazon.com Kanada, MSN Encarta Elderscroll-Spanyol, MSN Music, Fonoteca Municipal, Musicme, Music Greenwater-Rusia, JSTOR (12 dollar AS/CD), Barnes & Noble.com (16,99 dollar AS/CD), Best Price, Halfvalue.com (16,98 dollar AS/CD), YouTube Broadcast Amerika, YouTube Broadcast Polandia, The Hamilton-Wenham Public Library, Fatchancla, Wmfv.org-New Jersey City, Zoo Keeper Online dan Smithsonian Global Recordings (15 dollar AS/CD dan 10 dollar AS/kaset, Love Online (15 dollar AS/CD), Muzprosvet—Rusia, Aiaa.org.au (Rp 45.000/CD belum termasuk ongkos kirim), Music.wenchoice.com (16,98 dollar AS/CD), New Reader, Skuntry.com, Amusicarea.com, Hmvo.co.jp (1.568 yen/CD), Worldmusic Store (15,99 dollar AS/CD), Media-maniac.com, Culta.com, CDe Music.org (17 dollar AS/CD), Dgdiffusion.com, Folkways, Homeswipnet, Emusic.com, Download Store, Fonoteca.cm.lisboa, Technobeat.com, Caroline.hartfordpl, Swan.mls.lib, dan Answer.com (15 dollar AS/CD). Bahkan, amazon.com (Perancis) mengategorikan album Song Before Dawn sebagai "Various Artists" (bertanda bintang lima).

Siapa tak takjub dengan prestasi luar biasa Temu ini? Namun, coba bayangkan, Temu cuma diupah Rp 60.000 dengan perhitungan 10 jam bekerja, dari pukul 7 pagi hingga 5 sore. Atau, Temu hanya mendapat upah Rp 6.000 per jam. Sementara di Amerika Serikat, yang jaraknya berjuta-juta mil dari Desa Kemiren, CD Song Before Dawn terjual 12.000 keping (hanya di satu toko online). Berarti pendapatan dari penjualan CD Temu: Rp 2.278.800.000 (total dalam satu jam). Ironisnya, tak sepeser pun uang royalti diterima Temu. Kabarnya, suara Temu juga dijadikan soundtrack film Hollywood, berdurasi 5 detik. Lagi-lagi tanpa royalti.

Peredaran uang dari penjualan CD, kaset, dan unduhan Song Before Dawn sangat besar. Ke mana muara pusaran uang itu? MSPI, FF, dan Smithsonian Institution harus bertanggung jawab atas kelalaian—HAKI—Temu dan hak komunal masyarakat Banyuwangi (penggunaan syair-syair klasik gandrung di album Song Before Dawn).

Dalam UU Hak Cipta RI No 19/2002 disebutkan, bila lagu dan penciptanya anonim, pada bagian ke 3, Pasal 10 Ayat (2): Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama. Seharusnya, seperti pada Ayat (2), dalam rangka melindungi folklor dan hasil kebudayaan rakyat lain, Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa seizin Negara Republik Indonesia sebagai Pemegang Hak Cipta. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut.

Ketidakadilan adalah kata yang tepat untuk menggambarkan jerat kapitalisme global terhadap Temu. Ia telah dimanipulasi untuk kepentingan "lembaga". "Lembaga asing yang mensponsori Temu punya maksud lain," kata Kusnadi, antropolog maritim di Universitas Jember. "Mereka diuntungkan, sementara Temu terpinggirkan."

Aekanu Hariyono, Humas Dinas Pariwisata, menilai positif kepedulian MSPI, FF, atau Smithsonian Institution terhadap kehidupan seniman tradisi di Banyuwangi. Ditanya tentang album Temu yang direkam Philip Yampolsky, ia berujar, "Justru saya bangga sebab Temu dikenal banyak orang. CD Temu bukan dikomersialkan, tetapi hanya untuk bahan kajian musik tradisi. Cuma saya yang punya CD itu, tidak dijual di toko kaset di Banyuwangi!"

Pada tahun 1991, Smithsonian Folkways Recordings mengeluarkan publikasi resmi di AS dalam edisi Indonesia Seri Musik Indonesia ditulis oleh Rahayu Supanggah (etnomusikolog), Endo Suanda (Ketua MSPI), dan Philip Yampolsky (FF). Dalam pengantarnya Endo Suanda menuturkan, "Salah satu pemikiran utama MSPI dan Smithsonian Institution untuk mensponsori penerbitan Seri Musik Indonesia (Album Gandrung Banyuwangi), yakni untuk menghargai dan memupuk kehidupan budaya yang majemuk. Jadi penerbitan musik yang kurang dikenal ini sama sekali tidak disertai niat untuk menunjukkan atau apalagi mengeksploitasi eksotisme kesenian kita sendiri."

Padahal, hak cipta album Song Before Dawn dipegang Smithsonian Institution yang bermarkas di Washington DC tanpa memberi royalti kepada Temu. Di luar itu, di berbagai toko musik online, saya mencatat pelanggaran HAKI berupa penyalahgunaan karya foto bergambar Gandrung Mudaiyah untuk sampul album Song Before Dawn serta penghilangan nama Temu sebagai penyanyi dan Basuki sebagai penyanyi latar. Yang disebut hanya: "Musik of Indonesia, Vol 1, Song Before Dawn".

Ketika bertemu Mudaiyah, saya perlihatkan sampul Song Before Dawn. Ia tidak tahu-menahu. "Saya gak merasa diajak siapa pun." Berkali-kali saya bertanya, kenalkah ia dengan Philip Yampolsky? Mudaiyah menjawab tegas, "Kenal Philip saja tidak, apalagi diajak kerja sama."

Pada 12 Agustus 2007 saat menghadiri Mocoan (tradisi membaca lontar dari tafsir Surat Yusuf), saya bersua dengan peneliti Belanda, Bernard Arps, akademikus Universitas Leiden dan penulis buku Tembang in Two Traditions: Performances and Interpretations of Javanese Literature. Tampaknya Bernard berkawan baik dengan Philip Yampolsky. "Saya kenal Philip sejak 1980-an," katanya. Ketika saya singgung soal album Song Before Dawn yang dikomersialkan, ia menjawab, "Philip itu orangnya fair, njunjung dhuwur istilah Jawa-nya. Entah kenapa bisa begitu? Saya yakin Philip punya itikad baik." Menurut Bernard, di Amerika sudah lumrah bahwa rekaman musik folklor dikomersialkan oleh Smithsonian Global Recordings. "Barangkali tidak hanya CD Temu, tetapi banyak musik folk yang lain. Sayangnya, saya tak tahu kesepakatan Temu dengan Philip seperti apa?" kata Bernard yang fasih berbahasa Indonesia, Jawa, dan Using.

Inikah risiko globalisasi yang melahirkan kebebasan teknologi dan pasar bebas yang dibingkai apik oleh kapitalisme? Artinya, pasar bebas hanya menguntungkan "raksasa modal". Apa yang diperoleh Temu? Tak sepeser pun uang! Kemajuan materi tak memberi sumbangan yang berarti bagi Temu walaupun hal itu membuat seni tradisi lebih bernilai. Benar kata Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi 2001, "Globalisasi tidak otomatis menguntungkan orang miskin!"

Kekesalan

"Duh, mau beli salon (pelantam) saja gak nyampek duite," kata Temu. Kekesalannya membuncah. Profesi yang ia lakoni sejak tahun 1969 itu tak memberinya kemapanan. Tekanan ekonomi juga dirasakan panjak Temu bernama Basuki yang biasa disapa sebagai Pak Uki (75). "Tahun 1970-an dulu gandrung bisa dapat 30 kali tanggapan dalam sebulan. Sekarang sepi!" kata Basuki. "Dua bulan gak ada tanggapan sama sekali. Sampai gelas digadaikan untuk makan!"

Beruntung, Temu masih menerima bagi hasil dari sepetak sawah warisan. Ia juga menjual peyek dengan menitipkan di warung tetangga. "Penghasilan gak pasti," kata Temu. Upahnya dari gandrung terop Rp 250.000, selain itu Temu nyinden di acara hajatan dengan upah Rp 100.000, dan di saat musim kampanye pilkades ia diupah Rp 60.000.Image

Temu dimiskinkan secara ekonomi. Ia hanya ditarik ulur demi dalih menumbuhkan seni tradisi lokal. Kusnadi, peneliti wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Jember, melontarkan kritik tajam kepada peneliti yang oportunistik, "Peneliti bertanggung jawab moral terhadap Temu. Peneliti harus memberi umpan balik kepada pihak yang diteliti. Jadi, bukan sekadar ajang prestise atau prestasi akademik."

Temu dipermainkan birokrasi lokal, misalnya diberi award dari Kanada pada 14 Agustus 2001. Padahal, itu award palsu! Aekanu Hariyono dari Dinas Pariwisata mengakui bahwa "award" itu dibesar-besarkan. Itu hanya plakat dari pemerintah daerah yang diberikan ke Temu, (tapi) seolah-olah datang dari Kanada," katanya.

Terakhir kali saya bersua dengan Temu, ia menghela napas panjang sambil menyodorkan buku suntingan Philip Yampolsky bertajuk Perjalanan Kesenian Indonesia. Di buku itu Yampolsky menuturkan kisah Temu, "Saya akan terus menari sampai saya tidak laku". Temu seolah menyindir kehadiran saya, seperti halnya Yampolsky. Orang-orang cuma datang mengunjunginya, lalu pergi. "Ah, kabeh lali. Sing kuoso sing mbales!" kata Temu. Farida Indiriastuti. Kompas Sabtu, 03 November 200

Menyingkap Selaput-selaput Buram: Dilema Kesenian Tradis

i PDF Cetak E-mail
ImageDilema kita adalah ketika menemukan dan menyikapi tarikan berseberangan: bawah dan elite; promosi dan eksploitasi; jasa dan dosa; legal dan moral; segera dan hati-hati; dan banyak lagi. Suatu konstruksi dari etnomusikolog, jurnalis, ekonom, atau politisi dapat membantu pemahaman publik di satu sisi, bisa pula menyesatkan di sisi lain. Kita dituntut menimbang secara arif dan cerdas, bukan hanya dari suatu ruang dan waktu, tetapi dari ruang ke ruang dan waktu ke waktu.

M
embaca tulisan Farida Indriastuti (Bentara, 3 November), yang didahului oleh Maria Hartiningsih (26 Oktober) di harian ini, hati saya mendua. Di satu sisi gembira karena makin tumbuh kalangan luar yang peduli kesenian tradisional—ada ratusan jenis kesenian atau ribuan seniman senasib gandrung Banyuwangi dan penari Temu yang memerlukan perhatian. Kegembiraan bertambah demi melihat besarnya tanggapan publik di beberapa situs internet, selain banyak telepon, SMS, dan surel yang saya terima. Di sisi lain saya kecewa. "Data" yang dikumpulkan Farida dan dicutat Maria, menurut saya, "jauh panggang dari api". eterlibatan saya pada seni tradisi merentang panjang: dari mulai ngamen di desa, menggarap sajian baru, mengajar, meneliti, memublikasikan, mengadakan revitalisasi, sampai mengorganisasi pertunjukan ke luar negeri—untuk sekadar menjelaskan mengapa saya merasa berkepentingan menanggapi tulisan mereka. Saya tidak mewakili lembaga; tidak lagi berwenang untuk itu. Tulisan ini sepenuhnya persepsi dan tanggung jawab pribadi, walau di sana-sini saya memakai kata kami ketika memang terlibat. Salah satu topik pokok yang disoroti Farida dan Maria adalah CD musik Gandrung Temu yang, menurut para jurnalis-peneliti itu, laris sekali di luar negeri. CD itu, Songs Before Dawn: Gandrung Banyuwangi, adalah Volume 1 dari 20 CD seri Music of Indonesia (MOI) yang diterbitkan Smithsonian Folkways Records di Amerika Serikat. Pemimpin proyek MOI adalah Philip Yampolsky, etnomusikolog yang telah bertahun-tahun mempelajari musik Indonesia. Dialah pula pelaksana perekaman dan penulisannya, dibantu puluhan seniman-etnomusikolog Indonesia. Smithsonian bekerja-sama dengan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) sebagai mitra dan sponsor Philip untuk kerja-lapangan di Indonesia. Image Terbitan pertama MOI Smithsonian tahun 1991 hanya tiga volume. Sedangkan 17 volume berikutnya diterbitkan dalam kurun lima tahun (1992-1997). Pemilihan dan penomoran volume tidak berdasar pada tingkatan nilai musik, melainkan pada kesiapannya saja. Pandangan etnomusikologi tidak membedakan harkat-derajat musik. Di Indonesia penerbitannya dilakukan oleh Seri Musik Indonesia (SMI), lembaga khusus milik MSPI, untuk wilayah Indonesia dan Malaysia. Sampai kini SMI baru menerbitkan 10 volume: enam volume tahun 1997 dan empat volume tahun 1999. SMI-MSPI mendapat dukungan dana dari Ford Foundation, demikian pula Smithsonian, untuk proyek MOI. Ketiga lembaga ini bukan perusahaan rekaman, melainkan LSM (NGO-NPO). Smithsonian sangat besar: memiliki museum, kearsipan audiovisual, penelitian/kajian, festival, dan lain-lain. Pengelola bidang rekaman, Folkways Records. Tujuan dasar MOI adalah memperluas pengetahuan kebudayaan masyarakat yang beragam melalui pengadaan materi dan penumbuhan akses yang akan memberi sumbangan pada vitalitas dan kualitas kehidupan di dunia. Di situlah persamaan misi Smithsonian dengan SMI-MSPI. Di situlah pula terkandung "tujuan pendidikan" walau kedua lembaga itu tidak membangun sekolah.

Produk dan Pasar Rekaman SMI (Smithsonian-MSPI) mudah dibedakan dari produk pasar. Musik yang direkam Philip dan teman-teman tidak melalui "pengembangan", misalnya, dengan diatur ulang oleh komposer modern. Semua dimainkan sewajarnya oleh para seniman yang biasanya. Engineering suara jelas dilakukan, tetapi "elektronisasi"—umpamanya mempertinggi bass dan treble, reverberasi, dan lain-lain, sehingga suaranya "lebih bergema" seperti pada umumnya rekaman pasaran—tidak ada. Penulisan naskahnya panjang lebar, dalam bahasa Inggris dan Indonesia, berisi analisis teknis dan konteks sosial yang juga tak terdapat dalam produk pasaran. Ketika SMI mau diluncurkan, banyak kritik: isi musiknya dianggap "akademis", datar, atau sederhana. Agar laku, menurut kritik itu, SMI harus dimodifikasi atau dicampur dengan musik garapan baru yang "atraktif". Tetapi misi kami, walau ingin laku, bukan dengan larut pada selera pasar, melainkan dengan menawarkan "selera baru". Memberi akses pada kebutuhan "kecil" adalah perlu dengan berharap bisa membangun pasar "yang-berbeda", tumbuhnya kesadaran pada musik-musik yang selama itu dianggap "tidak berkembang". Jenis musik yang direkam bukan yang telah banyak dipublikasikan, seperti gamelan Jawa dan Bali, atau tembang Sunda. Musik-musik dari Nias, Mentawai, Biak, umpamanya, masuk dalam program terbitan. Album-album SMI tak banyak terjual. Dari sekitar 2.200 keping masing-masing CD dan kaset versi Indonesia, selama 10 tahun hanya sekitar setengahnya terjual di pasar. Yang lainnya diberikan gratis atau dijual dengan subsidi pada pihak-pihak yang memerlukan (misalnya guru/dosen kesenian). Untuk distribusi di pasar umum, SMI bekerja sama dengan Dian Records. Pada awal terbit Dian menyebarkan ke seluruh agennya di berbagai wilayah. Empat bulan kemudian sekitar 80 persen kaset itu kembali. Toko-toko hanya mau memajang tiga bulan. Mereka konon tak punya ruang pajang, terdesak oleh produk yang lebih laris, dan kami membayar biaya pengiriman dan pengembalian. Selain di pasar umum, SMI membuka outlet khusus, seperti di universitas, galeri, toko buku, taman budaya, hotel, kafe, dan sebagainya. Harapannya, di luar pasar konvensional terdapat komunitas yang memerlukan. Hasilnya? Tetap sedikit; bahkan di bawah penjualan Dian. Hasil penjualan bruto untuk biaya overhead pun tak cukup. Jika sampai sekarang SMI baru menerbitkan 10 volume, padahal MOI 20 volume, selain kendala teknis juga adalah perhitungan "bisnis" di mana 10 volume pertama belum terjual baik. Situasi itu menunjukkan bahwa SMI-MSPI tak bisa hidup dengan andalan hasil jualan selama belum terbangun pasarnya. Sejak didirikan pendanaan MSPI didapat dari donatur filantropis Ford Foundation yang paling peduli terhadap tujuan kami, yakni untuk penguatan nilai sosial-budaya. Bahkan, lembaga yang dibantu Ford tidak boleh berorientasi pada laba. Singkatnya, tanpa bantuan Ford, SMI-MSPI, juga Folkways-Smithsonian, tidak akan bisa mewujudkan 20 volume MOI.

Hitung-menghitung dan Amazon.com Durasi musik yang direkam Philip sekitar 360 jam. Yang diterbitkan 20 volume (25 jam), sekitar tujuh persen saja. Sisanya yang 335 jam dimiliki SMI-MSPI dalam kepingan DVD dan hardisk, dan telah pula diberikan pada Perpustakaan Nasional sebagai arsip negara. Dokumentasi seperti itu menurut kami sangat perlu sebagai sumber studi yang memungkinkan kita bisa "mendengar budaya" dari sekian banyak masyarakat negeri. Jika sekarang kita tidak atau belum merasa penting, siapa tahu 100 tahun ke depan. Lembaga nonprofit juga jualan—dan itu berlaku di mana- mana. MSPI, LKIS, Desantara, ATL, misalnya, menerbitkan buku yang dijual di pasar. Majalah kesenian Gong, suatu misal lain yang saya kelola, juga dijual. Setelah delapan tahun berjalan, hasil penjualan dan iklan Gong baru sekitar sepertiga dari biaya produksi. ImageMarc Perlman, profesor etnomusikologi Brown University, AS, pernah menyampaikan bahwa penerbitan musik-musik tradisi di mana-mana sampai sekarang masih bersandar pada bantuan lembaga donor. Marc kini di Washington DC, "kuliah" pascadoktor tentang copyright, dan di antaranya mengadakan studi MOI di Smithsonian. Analisisnya yang khusus mengenai Songs Before Dawn seperti berikut. Menurut Smithsonian/Folkways, biaya memproduksi satu volume MOI sekitar 50.000 dollar AS. Dalam kurun waktu 16 tahun (1991-2006), penjualan CD Songs Before Dawn tidak melebihi 4.250 keping—jika dirata-ratakan 266 keping saban tahun. Anthony Seeger, mantan direktur Smithsonian-Folkways yang kini menjadi profesor etnomusikologi UCLA, kepada Philip Yampolsky menguatkannya: "Tak ada satu pun volume MOI yang dicetak lebih dari 5.000 keping." Makin lama indeks penjualan menurun. Sejak tahun 2003, penjualan Songs Before Dawn rata-rata 60 keping per tahun. Marc kemudian memprediksi BEP: dari harga eceran 16,98 dollar AS, labanya dihitung 5 dollar AS. Laba sekarang 4.250 x 5 dollar AS = 21.250 dollar AS; defisitnya 28,750 dollar AS (50.000-21.250). Jika dari sekarang ke depan diambil angka 60 keping per tahun (300 dollar AS), maka BEP akan tercapai 96 tahun lagi (28.750 dibagi 300). Jika bantuan Ford sebanyak 650.000 dollar AS (untuk 10 tahun penelitian, perekaman, dan pembelian peralatan) juga dari Smithsonian, maka biaya produksi satu album MOI adalah 82.500 dollar AS dan BEP-nya baru akan tercapai dalam 204 tahun lagi, atau 220 tahun dari mulai diterbitkannya. Dari mana uang untuk menutupi kerugian Smithsonian atas produksi MOI? Mungkin dari keuntungan yang didapat dari penjualan CD lain (bukan Indonesia) yang laku di atas 10.000 keping sehingga bisa subsidi-silang. Tetapi, sebagian besar dana didapat dari para donor yang peduli terhadap misi kultural. Serupa itu pula perhitungan bisnis di Indonesia. Adi Nugroho, pemilik perusahaan rekaman Dian Records, pada awal negosiasi SMI mengatakan bahwa dari aspek bisnis ia tidak tertarik. Ia yakin SMI tidak akan laris. Ia melakukannya karena melihat "produk ini memiliki harkat tersendiri, yang bisa menumbuhkan wawasan keanekaan budaya bangsa. Saya merasa bangga walau tidak untung". Maka, ketika melihat data "fantastis" yang ditunjukkan Farida, saya tersentak karena bertolak belakang dengan pandangan selama ini. Saya lakukan penelusuran pada sumber data yang didapatkan Farida, yang menurut Desantara adalah hasil para peserta "pelatihan jurnalistik perempuan multikultural berbasis etnografi" yang diadakan Kajian Perempuan Desantara di mana Maria Hartiningsih adalah salah seorang fasilitatornya. Amazon.com didirikan tahun 1994 di Amerika, baru launching tahun 1995. Mustahil apa yang ditulis Farida "Pada medio Juli 1992, amazon.com (AS) mencatat angka penjualan album CD Song Before Dawn sebanyak 284.999 keping (dalam tempo 24 jam)". Apalagi Amazon.com di Perancis disebutkannya tahun 1991. Baiklah, angka tahun: mustahil itu, barangkali cuma salah ketik. Tetapi, tampaknya ada kesalahan yang menurut ukuran penelitian sangat "dahsyat": Amazon.com sama sekali tidak merilis angka penjualan suatu barang. Yang saya temukan adalah angka-angka peringkat (sales rank), yang jumlahnya enam digit seperti angka Farida. Angka peringkatan berubah-ubah: CD Gandrung tanggal 4 November (pukul 18:39) adalah 160.284; 6 November pukul 09:18 menjadi 175.107, dan 3,5 jam berikutnya (12:48) adalah 176.112. Artinya, bukan pada 6 November pukul 09:18 terjual 175.107 keping dan pukul 12:48 176.112 keping, melainkan rankingnya turun—entah dari berapa totalnya; tetapi makin tinggi angkanya makin rendah jumlah-relatif penjualannya. Kita tidak bisa menyimpulkan jumlah keping yang terjual. Farida bisa? Seandainya asumsi saya benar, Farida membaca sales rank sebagai keping penjualan, maka angkanya itu absurd dan salah fatal. Bahkan, bisa disebut "provokatif" kalau bukan "fitnah" karena begitu mencolok: mengentak hati pembaca, menggerahkan publik. Saya tidak menganggapnya sebagai pemalsuan angka yang jahat, tetapi kesalahan bodoh karena ceroboh. Jika sebaliknya Farida benar, saya akan merasa bloon, demikian juga Marc bisa disebut peneliti "bodoh", yang menghitung penghasilan bersih Smithsonian dari CD Song Before Dawn sampai kini sekitar 200 juta selama 16 tahun. Sedangkan kalkulasi Farida lebih dari setengah triliun dalam 24 jam dari satu outlet. Berapa pendapatan setahun? Dari puluhan atau ratusan outlet? Entah bagaimana menghitungnya: tetapi cara Farida akan menghasilkan rasio jutaan kali lipat dari cara Marc. Caya terus mencari logika angka-angka Farida: harga CD 16,98 dollar AS; kurs Rp 10.000/dollar AS; Rp 189.900/CD; dan total Rp 550.418.102.000. Saya gagal menemukan keterkaitan keempat figur angka ini. Rumusnya bagaimana? Dari orang-orang bisnis yang saya kenal, tak seorang pun yang menghitung untung dari jumlah jual dikali harga eceran. Biaya produksi, promosi, pengiriman, dan potongan pengecer, umumnya diperhitungkan 40-80 persennya. Jadi, perhitungan Marc lebih dekat dengan logika para pebisnis teman saya.

Refleksi Karena data Farida dicutat pula Maria Hartiningsih, kedua orang ini mestinya turut bertanggung jawab. Bukankah cross-check data merupakan bagian dari tanggung jawab jurnalisme? Apalagi terhadap rumusan-rumusan provokatif. Sambil menunggu klarifikasi, karena saya peneliti, saya merenung tentang apa artinya "penelitian" kesenian/seniman desa seperti Gandrung Temu ini: apa manfaatnya baik bagi peneliti maupun senimannya? Dalam keduanya terdapat unsur saling minta-dan-beri, material maupun imaterial. Adanya diskursus hangat mengenai para seniman dari sudut akademik, media (cetak, rekam), pasar, dan politik sering-sering berada di luar jangkauan akses maupun minat mereka sendiri. Mungkin menguntungkan atau membahagiakan mereka. Mungkin juga sebaliknya: membingungkan, meresahkan, memalukan. Mungkin merekatkan tali hubungan pertemanan, kekeluargaan. Mungkin juga merenggangkan. Itu semua akan tergantung dari orangnya (seniman, peneliti, jurnalis, manajer, birokrat) dan kasusnya dan oleh rapport yang ditumbuhkannya sebagai perwujudan "niat" dan "cara". Untuk mengevaluasi itu tidak sederhana. Setiap tindakan (dan fenomena) memiliki banyak selaput, tipis dan tebal, yang menyelimuti. Setiap lapisan bisa "bersuara" beda sehingga untuk memaknainya ruwet, atau "thick" jika meminjam istilah Clifford Geertz dari metode thick description-nya yang tersohor. Suatu makna tergantung dari konstruksi yang memaknainya: pelaku, penonton, peneliti, maupun jurnalis. Setiap pemakna menjadi subyek: the anthropologist is the author, kata Geertz pula. ImageMelimpah ruahnya informasi yang bisa diakses cepat menciptakan "selaput" yang lebih ruwet sehingga lebih menuntut kepekaan, kecermatan, dan seleksi dalam memaknainya. Di pihak lain, tuntutan fantastis, menarik perhatian, dan segera juga makin tinggi. Tetapi, makin fantastis menyuarakan (konstruksi), risiko fantastis makin tinggi pula. Makin lekat pada "the law of attraction" makin mudah terjebak pada selaput atraktif sehingga luput dari suara selaput-selaput lain. Pasar adalah selaput atraktif. Demikian juga, "perjuangan kemanusiaan". Dilema kita adalah ketika menemukan dan menyikapi tarikan berseberangan: bawah dan elite; promosi dan eksploitasi; jasa dan dosa; legal dan moral; segera dan hati-hati, dan banyak lagi. Suatu konstruksi baik dari etnomusikolog, jurnalis, ekonom, ataupun politisi dapat membantu pemahaman publik di satu sisi, bisa pula menyesatkan di sisi lain. Kita dituntut menimbang secara arif dan cerdas, bukan hanya dari suatu ruang dan waktu, tetapi dari ruang ke ruang dan waktu ke waktu. Saya harap Farida membuktikan dan menjelaskan perhitungannya. Bila ia benar, saya akan bahagia. Bila ia salah, akan sangat memprihatinkan bukan hanya terhadap kesenian, juga pada disiplin penelitian, standar etnografi, etika akademis, dan jurnalisme kita. Endo Suanda. Kompas, Rabu, 28 November 2007 Image

Pertunjukan Gandrung: Dari Tradisi ke Dominasi Pasar

PDF Cetak E-mail
 Penari: Memburu Rezeki dalam Kontrol Agama Menjatuhkan pilihan menjadi penari gandrung terkadang bukan sembarang pilihan yang asal jadi. Temu, Mudaiyah, dan Siti, mungkin tiga dari sekian penari gandrung yang memilih seni ini sebagai profesi karena limpahan tradisi keluarga. Sementara Dartik, Chusnul, atau Yuyun memilih gandrung lebih karena terbuai oleh imajinasi popularitas dan hidup lebih baik dari segi ekonomi. Bacaan mantra yang dilengkapi sesaji khusus, dihadirkan melalui jampi-jampi atau perantaraan wong pinter, baik dukun maupun kiai mengantarkan seorang penari gandrung benar-benar siap terjun dan mandiri di atas panggung. Bahkan ada yang memakai sabuk yang diisi dengan razah (mantra tulisan) dan susuk kecantikan yang dimasukkan merata di sekitar wajah dan tempat-tempat erotis yang lain seperti dada, pinggul, dan pantat, dengan jumlah 5 sampai 25 susuk dalam tubuhnya.

Semua upaya ini dilakukan tidak hanya untuk tampil cantik dan memukau tetapi juga ngalap berkah dari yang Maha Agung agar diberi kekuatan lahir batin dan supaya penampilan mereka dilindungi dari gangguan luar. Bukan hanya agar menjadi tampak menarik, enak didengar, dan erotis, semua mantra dan susuk itu berguna agar seorang penari gandrung menjadi seperti ”berleher menjangan dan berkaki kijang”, suaranya merdu dan lincah gerak tarinya. Gerak lincah sangat diperlukan bagi seorang penari gandrung, karena ia selalu merawe dalam dunia penuh resiko, harus berhadapan dengan pemaju yang sangat variatif dan seringkali bersikap usil dan tidak senonoh atau seperti dikemukakan Temu, nyosrop kayak kerbau. Hampir setiap pemaju menari mengitari mengejar tubuh sang penari dengan muka tertuju pada bagian-bagian sensitif tertentu seperti wajah, dada, dan perut sehingga si penari harus selalu memperhatikan setiap gerak pemaju. Membatasi kebebasan pemaju merupakan sesuatu yang tidak mudah. Baik di saat ngrepen maupun di pentas, kecenderungan usil para pemaju seperti memeluk, mencium punggung, menyenggol payudara (ngutit bumi), menepuk pantat, menyenggol kemaluan (ngutit lintang) selalu ada. Untuk mengatasinya, seorang penari biasanya menggunakan strategi memandang (melototi) matanya kemana dia akan bergerak, atau menggunakan strategi menangkalnya yang dalam bahasa setempat disebut tangar. Dalam konteks kehidupan yang heterogen, kenyataan seperti itu seringkali tidak menguntungkan bagi Suasana Pentas Gandrung seorang penari. Terutama kaum santri melihat bahwa penari gandrung adalah perempuan yang berprofesi negatif dan memperoleh perlakuan yang kurang menguntungkan, tersudut, terpinggirkan, bahkan terdiskriminasi dalam pergaulan sosial sehari-hari. Beberapa penari yang saya temui seperti Temu, Mudaiyah, Siti, Chusnul, Dartik, dan Yuyun merasakan betapa mereka diasingkan dan dijauhi oleh kebanyakan kaum santri, meskipun mereka harus menyikapinya dengan, meminjam istilah Temu, sabar tetapi tidak harus berhenti menari gandrung. Ungkapan Temu ”ingsun iki kerja, apa bedane karo nyambut gawe liyane kaya dodolan ring pasar”, merupakan kegigihan sikap seorang penari untuk mempertahankan profesinya di tengah hujatan kaum santri. Merawat Sisa Masa Lalu dan Dominasi Pasar

Masa penari perempuan pertama, Semi, merupakan babak baru dalam sejarah gandrung, bukan saja karena pergantian dari gandrung lanang ke gandrung wadon, tetapi juga karena sejak masa itu pertunjukan gandrung mulai diapresiasi oleh penonton non-Using. Sejumlah sumber menyatakan bahwa para migran awal yang berdatangan dari bagian barat Jawa Timur, Jawa Tengah, Madura, Bugis-Mandar, Bali, dan Arab keturunan, berkaitan dengan pembukaan perkebunan oleh Belanda pada akhir abad ke 19, mulai menonton dan mengundang/menanggap pertunjukan gandrung. Sebagai penanggap dan pemaju, orang-orang non-Using tersebut selalu menghendaki agar lagu-lagu yang didendangkan dalam pertunjukan gandrung sesuai dengan latar belakang etnis mereka. Dalam konteks tersebut, Semi dituntut untuk memenuhi keinginan dan permintaan mereka yang tidak hanya terbatas dari orang Using tetapi juga dari orang-orang Jawa, Madura, Bali, dan Bugis-Mandar. Dari proses semacam itu dapat dipahami kalau lagu-lagu seperti Surung Dayung (Bali), Pangkur, Kinanti, dan Gambir Sawit (Jawa) menjadi populer dan sering dinyanyikan dalam pertunjukan gandrung. Sama terkenalnya dengan lagu-lagu yang diadopsi Semi dari ritual Using sendiri seperti Seblang-seblang dan Ukir Kawinl(Seblang), Sekar Jenang dan Sandel Sate (Sanyang). Lagu-lagu dari ritual Using itulah yang kemudian diklaim sebagai lagu asli dan baku pertunjukan gandrung. Para penari gandrung sesudah Semi menghadapi pentas yang benar-benar terbuka dan tidak ekslusif hanya diapresiasi orang-orang Using. Kesenian gandrung sejak saat itu menjadi terbuka dan pementasannya melintasi batas entitas budaya di mana ia dilahirkan. Dalam konteks tersebut, permintaan lagu-lagu non-Using menjadi terbuka bahkan lebih banyak tatkala gandrung dipentaskan di tengah-tengah masyarakat Jawa, Madura, atau Bali. Produksi kaset lagu-lagu yang tidak mempunyai akar pada etnis atau kebudayaan daerah tertentu di Indonesia awal tahun ’80-an berpengaruh terhadap pertunjukan gandrung. Lagu-lagu dangdut dan pop daerah berikut gerak tari pengiringnya yang beredar sangat luas melintasi batas-batas wilayah kebudayaan termasuk di kalangan Using di Banyuwangi sering terdengar dilantunkan dalam pertunjukan gandrung. Tidak sedikit orang Banyuwangi khususnya para pemaju gandrung yang mengenal baik dan menyukai lagu-lagu dari daerah lain. Sementara pada saat yang sama, peminat menjadi pemaju semakin meluas dan tidak terbatas pada orang-orang Banyuwangi sendiri. Kecenderungan yang semakin terbuka pada publik umum terlihat sejak belasan tahun terakhir ketika beberapa grup gandrung sering diundang pentas di luar wilayah Banyuwang, seperti Bali, Kalimantan, Jakarta, dan Lampung atau di beberapa kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pentas-pentas di luar Banyuwangi itu, terutama yang diprakarsai pariwisata atau lembaga-lembaga kesenian Imageseperti Sekolah Tinggi (dan Institut) Seni dan Balai Budaya, menghadapkan pertunjukan gandrung dengan audiens (publik) yang selain bukan Using juga heterogen dari berbagai sudut (sosial, ekonomi, dan budaya). Hal itu berimplikasi pada teks pertunjukan yang menjadi sangat variatif sehingga pertunjukan gandrung menjadi plural. Di samping itu, interaksi dengan audiens luar sejak di masa Semi tersebut menyebabkan pertunjukan gandrung masuk ke ”ruang” transaksi ekonomis baik dalam bentuk sawer maupun tanggapan. Perubahan sosial terutama ketika modernitas menembus pedesaan di Banyuwangi sejak tahun ’70-an memapankan komunitas gandrung berada dalam ”ruang” tersebut. Melalui transaksi tersebut, para seniman gandrung mendapatkan keuntungan finansial, sementara para pemaju, kalangan, penanggap yang membayar mendapatkan pengakuan (prestise) dan kepuasan psikologis. Kenyataan pertunjukan gandrung menunjukkan betapa kuatnya warna pasar atau dalam bahasa seniman gandrung sendiri sebagai hiburan publik yang tidak memuat sedikit pun nilai atau pesan historis sebagaimana yang diasumsikan, diklaim, dan diharapkan kaum terpelajar Using. Pernyataan beberapa penari gandrung bahwa memenuhi keinginan dan permintaan penanggap atau pemaju/kalangan merupakan hal yang sangat penting dalam pertunjukan gandrung mengindikasikan muatan pasar lebih kuat. Komersialisasi kesenian tradisi itu memang banyak dikritik sebagai persoalan memudarnya kandungan terpenting seni tradisi, tetapi sebagai proses sosial tidak satu pun pihak yang mampu menghentikannya. Komersialisasi berlangsung semakin cepat terutama sejak pertengahan abad ke-20 ketika kesenian tidak lagi independen sebagai kesenian tetapi menjadi dependen dengan Juru Keluncingpersoalan-persoalan sosial lain seperti politik praktis. Gandrung sendiri, seperti dipaparkan di atas, telah memasuki dunia komersial sejak awal abad ke-20 ketika Semi sangat populer di tengah-tengah masyarakat migran di Banyuwangi yang heterogen secara etnis, agama, dan ekonomi. Sebagai gejala pasar yang dinamis, pertunjukan gandrung bukan saja terbuka tetapi juga menjadi amat sulit dihentikan dengan sebuah aturan baku yang tunggal dan stagnan, karena otoritas untuk menentukan sajian pertunjukan itu bukan lagi hanya pada senimannya melainkan telah berbagi dengan audien atau pemaju-penanggapnya. Pertunjukan gandrung, selain terbuka dan plural, menjadi sangat dinamis dan berkembang ke arah yang sulit ditentukan. Desantara / Novi Anoegrajekti

Sahuni

PDF Cetak E-mail

ImagePada tahun 1984, tepatnya Bulan Oktober, seorang seniman berwajah ala Nietsche menggebrak panggung kesenian di Banyuwangi. Ialah Sahuni, seniman cerdas yang mampu “mereinkarnasikan” kembali hadrah kuntulan yang nyaris tersingkir dalam panggung kesenian di Banyuwangi. Ia mengembangkan hadrah menjadi kesenian kundaran. Sebab kuntulan dalam hematnya kurang membumi.

Menurut Sahuni, Jika ditarik lebih kebelakang lagi, kundaran awalnya berasal dari Hadrah, sebuah kesenian yang tumbuh di lingkungan pesantren. Hadrah dimainkan oleh empat orang lelaki penabuh rebana, dalam kesenian ini tidak ada unsur gerakan tari sama sekali dan mengusung dakwah keislaman 100 persen dalam lirik-lirik yang dinyanyikannya.

Menurut catatan historisnya, hadrah tiba di Banyuwangi pada awalnya di bawa oleh Kyai Sholeh seorang tokoh agama Islam, yang berasal dari Lateng, Kecamatan Rogojampi, pada sekitar awal abad ke-18. Sampai sekarang hadrah masih tetap hidup di beberapa pesantren di Banyuwangi, wujudnya tidak sebagai pertunjukan tetapi pembinaan agama Islam. Kesenian yang hampir sama dengan hadrah adalah Gembrung, seni musik yang dimainkan dengan rebana besar-besar yang kental dengan nuansa Banyuwangen. Lantunan nyanyiannya diambilkan dari Surat Yusuf dari awal sampai akhir. Satu-satunya desa di Banyuwangi yang masih memiliki Gembrung adalah Desa Kemiren.

Melihat dan mendengarkan kundaran, menurut Sahuni, jauh lebih menarik daripada melihat kuntulan. Ini dimungkinkan bukan hanya karena musik dan lagunya yang dinamis, tetapi sudah merangsek pada penambahan-penambahan atribut-atribut pertunjukkan semisal kostum dan tata rias atau make up serta tata panggung. Kegairahan musik kundaran berasal dari banyaknya alat musik hasil kolaborasi antara musik kuntulan, gandrung, angklung dan musik damarwulan. Lirik yang digunakannya pun bervariasi, mulai dari lagu percintaan sampai pada pola hidup sehari-hari masyarakat using. “Hanya sekitar 15 sampai 10 % pesan agama islam yang tersisipkan”, kata pria kelahiran 22 Agustus 1949

“Kundaran itu ide saya pribadi dan didukung oleh seniman binaan saya, kolaborasi yang saya buat adalah musiknya”, tutur Sahuni. Dia menolak menyebut bahwa Kundaran adalah kesenian baru yang lahir di tanah Using. Kesenian ini menurutnya adalah sebuah kreasi yang lahir dan bersumber dari kuntulan. “Namanya saja masih tetap kuntulan”, ujarnya, “Tetapi karena dialah dan dikelola sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah pertunjukkan, munculah kata kundaran” lanjut kakek bercucu sembilan tersebut menerangkan.

Meskipun berasal dari keluarga Islam taat dan cenderung konservatif, Sahuni kecil sudah senang dengan kesenian. Tari-tarian adalah bidang yang diminatinya. Masuknya Sahuni dalam kubangan kesenian diawali dari keaktifannya dalam kesenian yang bernama Umar Maya. Pada saat kelas Enam SR Singojuruh, Sahuni sudah memerankan tokoh dalam beberapa pementasan Umar Maya.

“Tidak ada darah seni yang sekental saya dalam keluarga” kata Sahuni. Memang benar, jika kita melihat latar belakangnya. Buyutnya KH. Dul Hamid adalah seorang Kyai di Singojuruh, begitupun kakeknya H. Djaelani. Ayah Sahuni, Asri adalah lurah Pondok, seorang yang bertugas mengurus organisasi rumah tangga sebuah Pondok pesantren di Rogojampi. Asri adalah seorang yang mencintai seni. Dia rutin menabuh gendang dalam kesenian Umar Maya di kampungnya. Dari Asri inilah mungkin kecintaan Sahuni pada seni awalnya muncul.

Tetapi menurut Sahuni, kakeknya yang berasal dari ibunya lah yang mendekati kentalnya darah kesenian yang dimilikinya. Kakek itu bernama Alwi, orang madura asli, yang hari kelahirnya sama dengan Bung Karno tahun 1901. Pada tahun 1923 Alwi adalah seorang tokoh kanuragan yang ditunjuk sebagai opas oleh Belanda di Singojuruh. “Kakek dipilih karena punya keberanian yang besar untuk melawan benggolan-benggolan (perampok)’, kenang Sahuni.

Andaikata Sahuni hidup di dalam keluarga kecil tetapi berpegang teguh pada prinsip keislaman konservatif seperti keluarganya dahulu, mungkin dia tidak akan menjadi seniman. “Anak buyut dan kakek saya banyak jadi tidak punya waktu yang besar untuk mengawasi keturunannya satu-persatu”, akunya. Buyut Sahuni mempunyai 5 anak, sedangkan anak Kakeknya berjumlah duabelas.

Di tahun 1960-1965, pada saat Sahuni beranjak dewasa, di Banyuwangi terjadi pergolakan politik yang sangat dasyat. Tiga partai politik besar yaitu PNI, PKI dan Partai partai Islam saling berebut pengaruh. Dalam kesenian, ketiganya bermanifestasi menjadi LKN, Lekra, dan beberapa organisasi berideologi Islam.

Sahuni menikah pada tahun 1966 dan setahun kemudian anaknya yang pertama Umi Rahayu lahir. “Kepada dia rupaya darah seni saya turun mengalir”, katanya. Umi piawai dalam tarian dan kuat sebagai juru rias dan tata kostum. “Instingnya tajam sekali”, lanjut Sahuni. Sekarang Umi bertempat tinggal di Tuban dan aktif dalam Sentir, kesenian yang sangat dinamis, hampir persis dengan gandrung.

Dalam kegitan sehari-harinya, sedikitnya ada tiga sanggar kesenian yang menjadi binaannya. Pertama Sayu Geringsing di kelurahan Kampung Melayu Banyuwangi, pimpinan Subari Affandi, yang kedua adalah Pelangi Sutro di Desa Kemiren dan yang ketiga adalah Langlang Buana di Desa Wonosobo, Kecamatan Srono. Desantara / MHN Huda / Ahmad Ainur Rochman

Kundaran, Dari Tuntunan ke Tontonan, dan Tantangannya Kini

PDF Cetak E-mail
ImageBagi orang Banyuwangi, kundaran atau kuntulan dadaran, atau yang biasa disebut dengan kuntulan saja, sudah tidak asing lagi. Ia diminati banyak orang, pertunjukannya selalu disesaki oleh penonton tua-muda. Maklum saja, kuntulan versi baru ini boleh dibilang mewakili ruang batin masyarakat Banyuwangi kontemporer yang terbuka, cair, dinamis dan peka terhadap perubahan. Tidak banyak yang mencatat memang, bahwa kuntulan sebenarnya memiliki sejarah yang sangat menegangkan. Ibarat sebuah arena, ia adalah ruang tempat berbagai kepentingan dipertarungkan. Ya, kuntulan sebagai arena kontestasi.

Menurut sejarahnya, kundaran sebenarnya adalah perkembangan dari kuntulan yang embrionya adalah musik hadrah. Istilah kuntulan sendiri berasal dari kata “kuntul” yaitu nama burung kuntul yang mirip bangau. Ada juga yang berpendapat nama kuntulan berasal dari kata Arab kuntubil yang artinya “terselenggaranya pada malam hari”, dimana kata tersebut berkaitan dengan aktifitas santri yang mendendangkan puji-pujian berbentuk syair barjanji dengan diiringi rebana disertai gerakan-gerakan yang monoton. Pertunjukan kuntulan sebagian besar menyajikan lagu-lagu berisi pujian terhadap Nabi Muhammad dengan para penari serba putih sehingga sekilas tampak seperti kuntul. Dalam perkembangannya, kuntulan tidak bisa lepas dari seni hadrah barjanji. Sekitar 1950-an seni hadrah barjanji berubah nama menjadi seni hadrah kuntulan. Waktu itu, kuntulan ditarikan oleh penari (rodat) laki-laki, karena ada anggapan bahwa penari perempuan bertentangan dengan ajaran Islam. Gerakan tarinya pun masih sederhana, yakni gerak orang sedang shalat, wudu’ dan adzan. Busana yang dipakai terdiri dari baju putih lengan panjang, celana putih, dan kopyah hitam, tanpa memakai tata rias. Musik yang mengiringi hanya rebana dan nyanyian berjanjen. Sekitar tahun 1973 mulai diadakanlah festifal kesenian kuntulan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Banyuwangi. Pada saat itu hadrah kuntulan tak hanya menggunakan musik rebana tetapi sudah dikombinasi dengan beberapa alat musik lain seperti jidor, kempul, kendang, gong, dan seperangkat gamelan Banyuwangi. Pada tahun 1979, Sumitro, pimpinan sanggar “Jinggo Putih” mengganti para penari yang semula laki-laki dengan penari perempuan. Gerakan tari pun diubah menjadi lebih dinamis dengan sedikit menyimpang dari gerak sebelumnya. Baru kemudian pada tahun 1984, Sahuni, lulusan STSI Solo yang kini bekerja di Dinas Pariwisata Banyuwangi dan pimpinan sanggar seni “Sidopekso” menggarap kuntulan baru yang disebut kuntulan dadaran atau disingkat kundaran. Dari versi Sahuni inilah kuntulan benar-benar berubah. Lagu-lagu kuntulan dikolaborasikan dengan lagu gandrung seperti padha nonton dan jaran goyang, disamping lagu-lagu pesan pembangunan yang membuat isi dakwah Islam tinggal 20 persen saja dari keseluruhan pentas. Demikian juga tariannya yang mirip dengan motif dari Gandrung. Di tangan Sahuni inilah kuntulan tidak lagi monoton dan membosankan, melainkan menjadi semakin variatif, dinamis, dan pada akhirnya memperoleh apresiasi penonton yang luas dan beragam, tidak terbatas pada komunitas pesantren. Dengan demikian Sahuni juga semakin membuka kemungkinan lebih luas bagi kuntulan untuk menembus pasar komersial, dan oleh karena itu juga menuntut pemenuhan selera pasar. Tepat ketika kundaran hasil inovasi Sahuni memperoleh sambutan masyarakat dan makin mendominasi pertunjukan kuntulan, maka para santri yang menganggap dirinya sebagai pewaris sah seni kuntulan menuding telah ada penyimpangan substansial dalam seni kuntulan. Bahkan mereka mengecam sebagai kemaksiatan dan kemungkaran, karena ada pembacaan teks barjanji yang terpotong-potong sehingga makna sakralnya dianggap hilang. Selain itu pemujaan nama Allah diiringi dengan tari yang tidak etis. Namun sebaliknya pula, ada kalangan yang menerima pembaruan dengan menyatakan bahwa kuntulan masih tetap didukung oleh kalangan pesantren yang tinggal di pedesaan dengan misi dakwahnya. Reaksi pro kontra ini tidak hanya berlangsung di kalangan pesantren saja, tetapi juga melibatkan tarik menarik kepentingan di instansi-instansi pemerintah setempat. Setiap ada pertunjukan hadrah caruk selalu terjadi kericuhan oleh histeris para penonton, baik oleh perorangan maupun kelompok. Selain itu timbulnya keonaran tidak lagi karena pergeseran nilai dalam kuntulan, tetapi lebih disebabkan oleh persaingan antar kelompok kesenian. Kelompok yang pro terhadap kesenian kuntulan memperoleh dukungan dari pihak Dewan Kesenian Blambangan (DKB), Depdikbud dan pihak Kesra dengan mengadakan berbagai pembahasan yang menghasilkan batasan-batasan dalam perkembangan kesenian kuntulan, serta dukungan dalam bentuk penyelenggaraan festifal. Di sisi lain, kebijakan DKB juga mendorong kuntulan tidak saja sebagai tontonan yang bersifat komersial, melainkan sebagai kesenian yang sarat dengan muatan dakwah dan pesan pembangunan. Sementara Dewan Kesenian dan Dinas Pariwisata semakin agresif, hingga kini kalangan pesantren dan kelompok puritan Islam pun tetap bergeming. Mereka terus menuntut, kuntulan harus dikembalikan ke identitas aslinya yang Islami. Dan oleh karena itu segala pertunjukan yang berbau maksiat dan mengotori warna Islam harus segera dihilangkan. Dari perjalanan sejarah kuntulan ini memang tidak bisa dipastikan kapan pertarungan dan tarik menarik kepentingan ini berakhir. Yang bisa dipastikan hanyalah kenyataan, bahwa semua pihak: para seniman, Dewan Kesenian, Dinas Pariwisata, dan kelompok-kelompok Islam sedang berkompetisi menjadi yang paling dominan dalam merepresentasikan kuntulan. Persoalannya memang apakah interaksi berbagai kepentingan ini berjalan dalam ruang dialog yang sehat, ataukah sebaliknya? Desantara/ Huda, Paring Waluyo

Perempuan Seni Tradisi dan Problem Teknokras

i PDF Cetak E-mail

(sebuah catatan lapangan)

Image “Saya terkadang amat sedih melihat perkembangan seni gandrung Banyuwangi, mengapa hanya gandrung tari saja yang dikembangkan Pemerintah Daerah? Mungkin ini belum rejeki saya, padahal harusnya kalau gandrung itu ditanggap tidak hanya suara saja, tapi juga tarinya. Saya diam saja, saya butuh. Sebetulnya gandrung tari itu tidak bisa menyanyi, hanya bisa tari jejer gandrung saja. Kami sering merasa dipermainkan, makanya dengan suami saya mendirikan grup gandrung sendiri ” ungkap gandrung Siti".

Ungkapan polos itu meluncur begitu saja dari bibir perempuan setengah baya yang memiliki nama lengkap Siti Astutik. Seketika raut mukanya yang mulai berkeriput berubah merah menutup rona cantik yang masih membekas di wajahnya. Awal tahun 90-an Siti yang baru saja menikah dengan Sutomo, merasa jengkel, pasalnya Siti sering sekali diundang oleh pemerintah daerah untuk pentas di berbagai daerah. Ternyata kepandaiannya menyanyikan syair gandrung saja yang diambil sebagai pengiring tarian gandrung binaan pemerintah daerah.

Ingatan atas peristiwa masa lalu masih menggetarkan ucap kata perempuan berusia 48 tahun ini. Pasalnya peristiwa yang menimpanya pada masa lalu masih tetap saja terjadi hingga sekarang ini “Saya sering bertanya dalam hati, kenapa kok gandrung tari yang di uri-uri bukan gandrung yang asli (gandrung yang mengikuti pakem, jejer, paju, dan seblang-seblang). Sebuah kekecewaan yang sebenarnya umum terdengar di kalangan pelaku seni tradisi Banyuwangi, terlepas tudingan iri terhadap seni gandrung tari hasil kreasi dan teknokrasi pemerintah kabupaten melalui aparat seninya. Saya ini jadi orang nrimo,” sesal Siti melihat perkembangan seni Gandrung Banyuwangi.

Berangkat dari pengalaman itu, Siti dan Sutomo memutuskan untuk membuat grup dan mempunyai alat-alat musik sendiri. “Biar kami tidak selalu dimanfaatkan ketika diperlukan” aku mereka. Kini di rumahnya yang kecil Siti bersama suami yang tidak pernah lelah untuk membina dan mengahasilkan generasi baru gandrung. Bahkan putri tunggalnya, Lia Novitasari (15) sejak tiga tahun yang lalu telah menjalani profesi gandrung mengikuti jejak Siti. “Kami setidaknya habis lima puluh ribu rupiah setiap latihan, itu untuk mengganti uang bensin dan makanan para panjak,” terang Siti. “Kalau Mbok Temu, Pak Ikhsan dan kami tidak mau lagi melatih gandrung, mungkin gandrung akan punah” imbuh Tomo dan Siti.

***

Kesaksian gandrung Siti terdengar semacam ironi dan lepas dari bayangan kita tentang Banyuwangi yang di kenal sebagai kota gandrung. Namun kegeraman penuh siasat dan resistensi seolah menjadi kata kunci untuk memahami situasi yang sedang terjadi di kota yang terletak di ujung paling timur Jawa. Tanpa memahami suara lain yang jarang sekali terdengar, bahkan diungkapkan, barangkali hanya entitas kosong Banyuwangi yang kita temui. Tidak bisa di pungkiri perkembangan jaman yang begitu pesat dan menguatnya episteme pariwisata telah merubah secara besar-besaran pola pikir laku seni masyarakat Banyuwangi sehari-hari. Berbagai akomodasi nilai-nilai yang sesuai dengan selera pasar dan moralitas agama pun menjadi kewajiban untuk keberlangsungan hidup seni, seperti halnya gandrung.

Apa yang diungkapkan oleh gandrung Siti bisa jadi adalah hal yang lumrah bila kita tilik ke belakang tentang berbagai pola perkembangan seni budaya Banyuwangi. Benih perpecahan antar pelaku seni telah di semai jauh ke belakang, ketika pemerintahan Banyuwangi di pimpin oleh Bupati Joko Supaat Slamet yang mulai merambah aspek seni dan ritual Banyuwangi. Pada pemerintahan bupati yang berlangsung dari tahun 1966 sampai 1978 ini, berbagai proyek teknokrasi budaya Banyuwangi mulai di laksanakan. Dengan jargon pembangunan, penguatan identitas dan belakangan pariwisata pun menjadi kata kunci proyek teknokrasi tersebut. Jelas apa yang di lakukan Joko Supaat Slamet seiring dengan “kebijakan nasional” a la Soeharto pada dasarwarsa itu: pembangunan dan penguatan jatidiri budaya nusantara.

Berbanding lurus dengan konsep Soeharto, untuk menggarap pembangunan Banyuwangi, Bupati Joko Supaat Slamet ini mulai menyentuh aspek budaya Banyuwangi. Berbagai kegairahan seni mulai disokong, terlebih untuk menghapus stigma seni Banyuwangi yang pada dasawarsa sebelumnya dikaitkan dengan PKI. Upaya sokongan itu pun dimulai dari penghargaan Semi, gandrung perempuan pertama, sebagai cikal bakal budaya asli Banyuwangi sampai pendirian Dewan Kesenian Blambangan yang sampai sekarang menjadi “rujukan” seni budaya Banyuwangi. Sejalan dengan perkembangan langkah Joko Supaat Slamet, Dinas Seni dan Kebudayaan pun mulai melancarkan berbagai inovasi dan kreasi terhadap seni tradisi Banyuwangi, seperti yang sampai sekarang ini terkenal semacam “gandrung tari” dan “kundaran.”. Hingga figur seperti Sumitro Hadi, Sahuni, Subari, Zaini dan kawan-kawan pun muncul begitu saja dari lembaga pemerintah ini. Begitu pula dengan Hasan Ali atau juga Hasnan Singodimayan tampil menjadi sosok penting seni budaya Banyuwangi dari kelompok Dewan Kesenian Blambangan (DKB).

Embrio lembaga resmi pemerintah yang di mulai sejak pemerintahan Joko Supaat Slamet inilah kini sering di tuduh menjadi biang kekisruhan dan keresahan pelaku seni semacam gandrung Siti. Berbagai pola intervensi dan otorisasi tunggal seni budaya kerap di arahkan kepada mereka. Tuduhan ini bisa saja terlalu fatalis bila tidak di tengok pula berbagai hal positip eksistensi lembaga seni dan dinas seni budaya yang menjadi “sayap pemerintah” ini. Namun seperti ditemui Desantara banyak sekali pelaku seni tradisi yang merasa tidak sesekali di zalimi oleh institusi ini. Pola biang kekesalan tetaplah sama, ketika hasil teknokrasi seni budaya dijadikan patokan seni budaya yang lebih “beradab” dan luhur ketimbang kreasi yang hidup dan tumbuh di masyarakat. Hingga benih-benih perselisihan antar pelaku seni “lama” dan “baru” tumbuh dengan sendirinya. Fenomena hadirnya gandrung tari yang di kritik keras oleh Siti adalah salah satu konsekuensi logis terjadinya teknokrasi dan otorisasi budaya ini. Meski sepenuhnya otoritas pengetahuan dan klaim orisinalitas itu bukan milik siapa-siapa.

Apa yang dituduh sebagai “teknokrasi” ini sebetulnya adalah masuknya negara melalui aparatnya dan juga elit budaya semacam DKB dalam proyek seni budaya dengan segala otoritas nilai dan kekuasaan yang melekat di dalamnya. Tidak bisa di pungkiri, semenjak dasawarsa 70-an banyak lahir kreasi-kreasi seni budaya baru yang memang tidak ada satu orang pun yang dapat atau boleh melarangnya. Namun ironisnya, keambiguan sikap malah menjadi sifat lembaga terhormat tadi. Seperti dituturkan Slamet Riyadi, pensiunan Angkatan Laut RI yang menikmati hari tuanya dengan menjadi pembina Kuntulan, campur tangan dinas pariwisata dan DKB dalam kesenian lebih banyak merugikan mereka. Setidaknya aparatur institusi yang bekerja pada lembaga itu sering mencurangi kelompok Slamet. Mereka dengan kekuasaannya menyerobot undangan pentas atau kejuaran milik kelompok lain, termasuk kelompok Slamet. Hingga aparat dan lembaga kesenian tadi tampil layaknya raja-raja kecil dalam pangung seni budaya Banyuwangi. Berbagai selisih paham, iri dan kesal yang bermuara pada rasa pemarjinalan pun akhirnya tumbuh pada sosok macam gandrung Siti, Slamet Kuntulan, Endang, gandrung Wiwik, Sri, Rahman dan gandrung Temu. Mereka semua seolah bersepakat kehadiran aparatus elit dalam kehidupan kesenian banyak memberikan efek buruk dalam seni.

Senada dengan pelaku seni tradisi, pelaku ritual mengungkapkan bahwa campur tangan aparat negara ─seperti di ungkap Sahwan dan Ngaisah, pasangan pinisepuh ritual Seblang Olehsari− malah membuat upacara adat desa tersebut sering kisruh antar sesamanya. Bahkan para pelaku ritual dahulu yang dengan suka rela melakukan upacara, bahkan mengeluarkan uang dan tenaga, sekarang terkadang sering merasa enggan untuk melakukan hal yang sama. Hal ini, tutur Sahwan dan Ngaisah, di sebabkan turut serta nya Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya dalam penanganan upacara itu. Otomatis untuk kepentingan “kelayakan wisata” berbagai permakan ritual di lakukan oleh mereka. Parahnya, upacara yang biasanya di lakukan secara komunal tersebut telah di masuki birokratisasi kepanitiaan, yang tidak lepas dengan urusan uang dan “pesanan” kepentingan. Jelas perkara pembagian uang, ketidaktransparanan dana ritual dan juga campur tangan yang dalam pada ritual adat membuat para pelaku semacam Sahwan mutung. Perasaan di manfaatkan dan di perlakukan tidak adil pun hinggap pada diri Sahwan, namun sebagai orang biasa dia hanya bisa diam, bergunjing dan mogok dengan menyingkir.

Pertarungan Elit, Teknokrasi dan dan Pergulatan Identitas

Dalam kenyataan komposisi elit budaya a la pemerintah dan DKB memperlihatkan betapa kokohnya pengaruh mereka di dalam masyarakat. Hal ini di akui sendiri oleh Anwar, seorang panjakPalinggihan Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya. Baginya, menari bersama kelompok orang ini menjamin dirinya bisa menembus pementasan yang lebih intens dan melanglang nusantara. Bahkan dia merasa bersyukur, setidaknya Lia bisa selalu di libatkan pada kegitan yang di adakan Pemkab dan Dinas Pariwisata. Tak heran sosok – sosok yang besar dan hidup dalam lingkup dua lembaga ini, menjelma menjadi sumber pengetahuan yang sahih tentang watak dan sejarah seni tradisi “asli” Banyuwangi ini. gandrung yang hatinya merasa tentram dan mantap setelah banyak bertanya dan berguru tentang sejarah gandrung pada seorang Hasnan Singodimayan. Begitu pula dengan perasaan Lia, seorang penari daerah, masa depan keberhasilan tarinya hanya terjamin ketika dia belajar menari dalam bimbingan Zaini dan terkadang Sabar Harianto dalam

Kedigdayaan berlebih dua lembaga sering menjadikan mereka begitu saja men “fatwa” kan kebijakan seni budaya ini menuai kritik keras. Bahkan telah berdiri pula sejak beberapa tahun yang lalu, Dewan Kesenian Blambangan Reformasi yang di isi oleh generasi muda sebagai tandingan DKB yang mereka anggap tidak netral lagi dan mengabdi pada pemerintah. Bagi mereka DKB hanya menjadi kepanjangan tangan Pemkab yang mengeklusifkan diri dengan identitas dan seni yang tertentu. Hingga tidak begitu terbuka dengan hal-hal lain di luar seni dominan Banyuwangi. Di tambah sikap berlebih sosok – sosok yang ada dalam DKB, menambah kegeraman seniman muda Banyuwangi. Seperti sikap yang di lakukan ketua DKB Hamzawi Adnan terhadap Yons DD, salah seorang musikus lokal Banyuwangi. Hamzawi Adnan mengutuk keras penggunaan mahkota gandrung, omprog, dalam sampul album “Polos”-nyaYons. Mungkin sikap konservasionis Adnan ini di latari oleh pendobrakan nilai yang sedang di lakukan oleh Yons yang melawan nilai dominan penggunaan omprog hanyalah untuk perempuan gandrung. Perdebatan keras pun bergulir di kalangan seniman Banyuwangi. Bahkan tidak segan kelompok DKB Reformasi yang di ketuai oleh Fatah Yasin Noor melakukan pembelaan wacana atas Yons DD. Secara khusus Yasin Noor menulis persoalan tersebut dalam majalah budaya Jejak, terbitan resmi DKB Reformasi

ImagePertarungan wacana antar elit budaya Banyuwangi tidak hanya berkutat pada persoalan moralitas seni, namun juga merambah ke persoalan identitas, bahasa Using dan sejarah Banyuwangi. DKB sebagai “komponen dalam” pemerintah daerah, versi dominan yang berkembang tentulah dari DKB, dari masa kepemimpinan Hasan Ali hingga Hamzawi Adnan. Setidaknya fasilitas dan pencukupan kebutuhan finansial pertahun rata-rata 150 juta tersebut mampu menyokong sosialisasi wacana yang di kembangkan lembaga ini. Terbukti berbagai terbitan buku DKB atau Pemkab Banyuwangi menjadi rujukan pelaku seni dan masyarakat Banyuwangi sekaligus menjadi representasi Banyuwangi ke dunia luar. Sebaliknya, kelompok di luar ring pemerintah semacam Fatrah Abal dan A.K. Armaya pun tidak mau ketinggalan dalam diskursus Banyuwangi. Berbagai polemik identitas, bahasa Using dan sejarah Banyuwangi juga bergulir dari sayap ini melalui majalah, koran dan diskusi-diskusi.

Perdebatan sengit yang tidak lebih dari kontestasi semangat teknokrasi elit yang bisa di catat disini salah satunya adalah hari jadi Banyuwangi. Hasan Ali sebagai representasi DKB dan pemerintah berargumentasi titik tolak sejarah Banyuwangi adalah meletusnya perang Puputan Bayu. Sebuah perang yang mencatat kemenangan VOC atas prajurit Blambangan ini diangap sebagai peperangan yang sangat heroik patriotik dan membanggakan, hingga perlu di catat dan di jadikan suri tauladan Banyuwangi masa kini. Berdasar unsur kesejarahan, unsur kejuangan dan filosofi itulah Hasan Ali mencoba menawarkan hari jadi Banyuwangi bertolak pada peristiwa Puputan Bayu 18 Desember 1771. Perdebatan dan pencarian hari jadi Banyuwangi yang telah berlangsung sejak tahun 1977 itu pun akhirnya di restui oleh DPRD Banyuwangi secara aklamasi pada tahun 1995, berbagai buku dan tulisan pun bergulir. Namun perdebatan sengit diskursus hari jadi Banyuwangi masih saja terjadi hingga saat ini. Abdul Kadir Armaya berserta kawana-kawannya yang berada dalam wadah DKB Reformasi dan FDSB2 menolak penetapan hari jadi itu. Menurutnya tanggal perpindahan pemerintahan Banyuwangi-nya Mas Alit dari Lo Pangpang ke Banyuwangi secara rasional lebih bisa di terima. Bahkan secara ekstrim, Fatrah Abal berbicara bahwa kerajaan Balambangan itu tidak pernah ada, dan perang puputan bayu tidak terjadi. Lebih jauh Fatrah Abal mensinyalir istilah puputan bayu baru lahir pada masa Orde Baru, yaitu ketika pada masa pemerintahan Joko Supaat Slamet yang sedang sibuk menyusun buku “Selayang Pandang Blambangan.”

Di masa kini, perayaan hari jadi Banyuwangi pada bulan Desember setiap tahunnya itu malah menjadi ajang pamer pengaruh kebijakan penguasa. Pada masa pemerintahan Samsul Hadi, hari jadi Banyuwangi di jadikan ajang penguatan identitas Banyuwangi yang Using dan konservasi seni tradisi Using. Kirab puluhan gandrung dari masa ke masa di rangkul Samsul untuk merebut perhatian masyarakat, hingga ketika kini tidak menjabat, nama Samsul di sebut-sebut sebagai tokoh seni yang menjadi bupati, seperti halnya Joko Supaat Slamet. Yang paling dramatis dan penuh kecaman adalah peristiwa hari jadi Banyuwangi ke-234 yang jatuh pada Desember 2005. Peringatan hari jadi yang pertama kali di adakan oleh pemerintahan Ratna ini dicibir telah merusak tatanan tradisi Banyuwangi ketika apa yang di tonjolkan pada Harjaba tersebut adalah multikulturalisme Banyuwangi yang penuh simbol-simbol Bali. Sebagian orang berpendapat, Ratna yang tidak mempunyai akar massa yang kuat sangat berkepentingan untuk menonjolkan isu multikultur ini. Setidaknya hal ini akan mampu sedikit menghapus jejak pengaruh sosial budaya Samsul Hadi yang begitu kuat dengan wajah Using-nya. Hasnan Singodimayan, selaku koordinator peringatan itu berkilah tidak ada upaya Balinisasi dan Hinduisasi dalam peringatan hari jadi Banyuwangi ini. “Semua hanya bermula dari kesalahan teknis hingga menyebabkan tampak begitu besarnya jumlah kotingen dengan atribut Bali,” kilahnya. Lepas dari pendapat, Hasnan kita bisa melihat betapa media budaya semacam hari jadi Banyuwangi menjadi ajang kontestasi elit yang strategis.

Hingga tidak salah ketika Samsul Hadi yang menjabat sebagai mantan bupati menggalang wacana perlawanan terhadap “kebijakan budaya” Ratna. Kepada Desantara, Samsul mengungkapkan telah terjadi pembusukan terhadap budaya dan identitas Banyuwangi. Samsul dengan keras mengutuk intervensi budaya terhadap tradisi Banyuwangi. Samsul menuduh masuknya unsur budaya Bali pada perayaan tersebut sebagai pemaksaan, sebuah pemaksaan yang menurutnya tidak terjadi dialektika di dalamnya. Namun Samsul bisa memaklumi ketika DKB yang berada dalam naungan Dinas Pariwisata Seni dan Budaya itu tidak mengambil langkah atas pemaksaan budaya di luar Banyuwangi menjadi bagian dari Banyuwangi. Peristiwa hari jadi Banyuwangi pun semakin memanas ketika terlontar gandrung tidaklah Islami, jelas langkah blunder ini di tempuh Ratna untuk merangkul kekuatan Islam yang sedari awal kepemimpinannya tidak memberikan dukungan kepadanya.

Jejak teknorasi dan persengketaan elit yang lainnya bisa kita jelajahi pada diskursus identitas Using dan bahasa Using. Sebagai perlintasan Jawa ke Bali, Banyuwangi juga merupakan daerah pertemuan berbagai jenis kebudayaan dari berbagai wilayah. Seni budaya Banyuwangi pun diwarnai oleh budaya Jawa, Bali, Madura, Melayu, Eropa dan budaya lokal yang campur aduk akhirnya menjadi tipikal yang bisa di katakan unik tidak di ketemukan di daerah lain. Penduduk asli Banyuwangi sering di identifikasi sebagai sub suku Jawa, begitu pula dengan bahasanya yang di sebut Banyuwangen atau Using. Namun hingga sampai saat ini pergulatan identitas dan bahasa ibu menjadi proyek yang tidak kunjung selesai.

A.K. Armaya dari DKB Reformasi menggulirkan wacana bahwa Using dan Bahasa Using itu tidak ada. Bagi mereka bahasa Using itu tidak lebih dari dialek dalam bahasa Jawa, bukan sebuah bahasa baru. Hal yang sama juga di akui oleh Fatrah Abal, bahkan beliau mengungkapkan bahwa identitas dan bahasa Using itu adalah temuan para pemuda - pemudi Banyuwangi yang menempuh pendidikan di luar kota. Bahasa dan identitas ini tidak lebih adalah sejenis perlawanan terhadap budaya mainstream Jawa dan nusantara yang selalu memberi label Banyuwangi dengan ilmu sihir, santet, kelicikan dan orang – orang kurang beradab. Hingga bisa di mahfumi terjadinya perlawanan yang keras pada generasi muda Banyuwangi atas pe “Liyan”an terhadap mereka.

Lebih jauh Abal mengungkapkan bahwa generasi muda yang dia sebut itu tidak lain adalah Fatrah sendiri, Hasnan Singodimayan, Hasan Ali dan juga elit budaya Banyuwangi yang hidup saat ini. Fatrah Abal mengaku pada dasarwarsa 80-90-an, dia bersama Hasan Ali dan kawan-kawan DKB menggodok lahirnya bahasa Using dan identitas Using. Bahkan mereka juga sempat menulis buku kecil untuk kamus, namun ternyata Hasan Ali yang berhasil menerbitkan kamus bahasa Using itu. Seperti tercatat pada dokumen “Ejaan Bahasa Using” keluaran DKB, pada 18 Desember 1990, DKB bersama Yayasan Kebudayaan Banyuwangi mengamanatkan pembuatan pedoman bahasa Using untuk penulisan dan percakapan sehari - hari. Namun seperti di ungkap oleh Fatrah Abal, hal ini sebetulnya kurang pas bahkan dalam sebuah seminar, saksinya, Prof. Dr. Suripan Sadi Hutomo mencoba mengetengahi perdebatan ada tidaknya bahasa Using dengan tantangan untuk membuat kamus sendiri supaya bisa di anggap bahasa.

A.K. Armaya pun dengan sengit berbicara, sebetulnya mereka yang getol berbicara identitas dan bahasa Using bukanlah orang Using juga. Bahasa Using yang di sodorkan pada kongres bahasa Jawa di Solo dan Jogjakarta itu tidak lebih akal-akalan elit budaya saja. Dia menelisik, bahwa yang di ajukan dalam kongres itu memang sengaja bahasa murni dialek Using, namun bila di rujukan 100 kata bahasa Jawa dengan 100 bahasa Using tentang benda yang sama ternyata bahasa Using itu tidak lain adalah bahasa Jawa. Pasalnya sedikit sekali yang tidak mengunakan kosakata bahasa Jawa. Jadi menurut A.K. Armaya semua ini tidak lebih dari akal-akalan saja.

Berbeda dengan Armaya, Hasnan Singodimayan, sesepuh DKB, yang lebih dekat dengan pemerintahan yang berkuasa di Banyuwangi, berpendapat bahwa Using adalah sesuatu yang berbeda dengan Jawa, begitu juga dengan bahasanya. Hingga pada kongres kebudayaan Jawa, Hasnan dan Hasan Ali mengotot dan mengupayakan pengakuan bahwa Using adalah bahasa sendiri bukan varian dialek Jawa. Hingga momentum kepemimpinan Samsul Hadi, yang diangapnya bukan hanya bupati tapi juga seniman itu, digunakan untuk meng-gol-kan apa yang selama ini di cita-citakan bersama oleh Hasnan, Hasan Ali dan kawan-kawan DKB untuk pembangunan identitas Banyuwangi. Gayung ternyata bersambut, Samsul Hadi pada masa pemerintahan akhirnya mengeluarkan berbagai kebijakan untuk pembangunan identitas itu.

ImageBagi Samsul, seperti di ungkapkan kepada Srinthil, penguatan budaya itu sangat perlu untuk pembangunan Banyuwangi. Menurut Samsul tidak ada bangsa yang besar, seperti Jepang, tanpa menggunakan kebanggaan budaya. Tidak heran pada masa Samsul Hadi tercetus SK Bupati tentang mars Banyuwangi “Umbul-umbul Belambangan” yang di ciptakan oleh Andang C.Y dan di aransemen oleh Man Basir. “Umbul-umbul Belambangan” ini bagi Samsul adalah sebuah lagu kebesaran yang memberikan semangat pembangunan yang luar biasa bagi Banyuwangi, selain itu lagu ini seolah bersyukur atas keelokan Banyuwangi yang semua telah di sediakan begitu saja oleh Tuhan.

Tidak hanya itu, Samsul kemudian mengeluarkan Sura Keputusan (SK) maskot Banyuwangi adalah Gandrung dan SK untuk Jejer Gandrung sebagai tari penyambutan tamu resmi di Banyuwangi. Ada juga SK muatan lokal bahasa Using yang sampai saat ini menuai kritik. Meski sebetulnya apa yang di kerjakan oleh Samsul Hadi telah ada embrionya sejak pemerintahan Purnomo Sidik. Dan yang paling fenomenal dalam pemerintahan Samsul adalah pendirian sekolah gandrung profesional. Sekolah gandrung ini yang hanya berlangsung dua kali dan hanya menampung 30 siswa per angkatan ini di sesalkan tidak di teruskan oleh pemerintahan Ratna Ani Lestari. Harapan “konservasi” gandrung masih banyak di tumpukan elit budaya pada sekolah ini.

Komodifikasi Perempuan Seni Tradisi

Secara umum kondisi seni tradisi Banyuwangi yang komponen utamanya adalah perempuan menunjukan gejala negoisasi yang luar biasa. Derasnya arus modernisasi lewat jalur televisi dan radio di perkuat kebijakan aparat terkait yang mengakomadasi kepentingan pasar demi kemajuan pariwisata dan juga akomodasi pada gejolak purifikasi moralitas agama maka lahirlah negosiasi itu. Negosiasi yang memunculkan berbagai varian seni yang memadukan tradisionalitas, modernitas bahkan agama pun memunculkan apa yang di sebut gandrung tari / kreasi, gandrung remix, janger campurasi, kundaran dan semacamnya. Namun perubahan semacam ini sebetulnya adalah hal yang wajar terjadi sepanjang masa, seperti juga tampilnya gandrung Semi, gandrung perempuan pertama yang mengantikan tradisi gandrung laki-laki. Namun demikian, sebagian elit budaya mengkhawatirkan seni kreasi ini akan menggeser kesenian lama yang sudah berkembang ratusan tahun sebelumnya.

Di kalangan seni tradisi lama, seperti halnya gandrung memang tersemai bibit ketidaksenangan atas berbagai variasi gandrung yang sedang berlangsung. Seperti halnya gandrung tari yang di ajarkan dalam sanggar-sanggar tari binaan pemerintah daerah atau sanggar sekolah begitu sengit di tanggapi oleh gandrung profesional. Bagi mereka kehadiran gandrung tari yang merupakan hasil kreasi elit lokal tersebut merupakan ancaman atas punahnya seni gandrung asli. Bahkan secara berlebih mereka mengungkapkan gandrung tari yang selalu di perlakukan istimewa oleh pemerintah ini hanyalah sosok-sosok yang mengandalkan kemudaan usia, keindahan tubuh, kecantikan wajah namun secara kemampuan kosong. “Mereka hanya bisa menari, tidak bisa menyanyi, menari pun hanya jejer,” ungkap gandrung wiwik agak kesal melihat kreasi baru tari gandrung tidak mu dan bisa menguasai gandrung secara keseluruhan. “Mungkin gandrung pada jaman yang akan datang hanyalah gandrung jejer,” ungkap Nardi pemain janger yang nyambi jadi tukang becak menanggapi keenganan generasi muda yang mau belajar gandrung profesional.

Kreasi baru pada seni budaya Banyuwangi ini tentu saja tidak semata-mata lahir oleh inisiatif sang pelaku, namun merupakan kesepakatan tidak tertulis hukum pasar dengan aparatus negara dan mungkin juga agama. Seperti halnya negosiasi yang sedang di lakukan para gandrung profesional yang mulai melirik syair campursari dan musik remix dalam pentasnya. Begitu pula yang yang di lakukan oleh aparat seni Dinas Pariwisata yang sedari tahun 70-an selalu merancang variasi tari, dengan berbagai standar moralitas dan estetika protokoler yang mengikuti. Seperti terlihat pada gandrung tari yang di gunakan untuk menyambut tamu dan pentas pada festival tari, babak paju atau tarian berpasangan hanyalah sebatas tari pergaulan biasa, begitu pula dengan pakaiannya yang lebih tertutup. Hal ini bisa di pahami sebagai akomodasi atas standar moralitas agama dan estetika protokoler yang di anut aparat seni Dinas Pariwisata. Dan pastinya juga segi kelayakan jual untuk di tampilkan sebagai tari wisata.

Di sisi lain logika pasar tampakanya telah singgah dalam ranah seni tradisi dalam bentuk industri musik lokal. Sebagai salah satu daerah yang kuat imaji identitas dan kedaerahannya industri rekaman musik lokal memang berkembang pesat di Banyuwangi. Bahkan sejak tahun 70-an usaha lagu lokal ini telah di rintis oleh Fatrah Abal dan nampak perkembangan pesatnya adalah saat ini. Hingga tidaklah sulit bagi kita menemukan beberapa kreasi baru seni ciptaan elit aparat pemerintah itu di terima oleh pasar. Komposisi yang memasukan elekton dalam janger, perempuan dalam kuntulan, gandrung dalam disco remix adalah salah satu contoh yang bisa kita lihat di lapak-lapak musik di Banyuwangi saat ini. Pasar mungkin yang jenuh dengan menu lama semacam“gandrung.” Seperti di akui oleh Sandi, pangsa pasar Banyuwangi atas sangat menerima berbagai kreasi baru seni, begitu pula dengan pelaku seninya “Kami biasanya membayar sampai satu juta, bahkan banyak juga yang tidak meminta bayaran asal bisa rekaman saja,” imbuh Sandi pemilik Sandy Records, usaha rekaman lokal yang banyak memproduksi versi gandrung remix dan disco.

Angka penjualan pun tercatat begitu fantastis dan di akui secara nasional sebagai basis indrustri rekaman lokal yang maju. Untuk album remix dan disco yang mengunakan goyangan dan nyanyian gandrung Temu saja sejumlah 60 ribu kopi terjual ludes di lapangan. “Saya menerima saja berapa bayarannya, dan tidak tahu tenang perihal hak ciptanya, saya tidak mendapatkan tambahannya” ungkap gandrung Temu yang sering pentas bareng dengan Mia peserta Kontes Dangdut Indonesia yang berasal dari Banyuwangi. Nada pasrah Temu yang sekaligus mengadung siasat bertahan hidup di tengah semakin menurunnya pentas itu pun di anggap sebuah kejelian. “Gandrung yang tahu peluang itu gandrung pintar,” tegas gandrung Wiwik tentang rekan-rekannya yang banyak nyambi di seni lain. Senada dengan pola pikir Wiwik dan Temu, gandrung Siti juga menerima pesanan lagu apa saja ketika pentas gandrung di luar Banyuwangi. “Kebanyakan mereka senang dengan gandrung kita, kok bisa menyanyikan lagu apa saja,” jelas Sutomo, suami gandrung Siti yang sekaligus ketua grup seni gandrung Sekar Arum.

Dari keresahan yang terungkap diatas, seolah tergambar betapa kekuatan pasar dengan nama kepentingan wisata itu menjadi determinir atas kebijakan yang di ambil negara. Meski tidak terlupakan juga otoritas agama yang secara tidak langsung berpengaruh dalam pengambilan kebijakan tersebut, terbukti berbagai isu Islamisasi terhadap seni tradisi, semacam gandrung dan kebo-keboan, mulai di akomodir oleh negara dan elit budaya lokal. Namun beberapa kontroversi dan penentangan keras atas masuknya agama pada ranah seni ini juga lahir dari individu-individu pelaku seni budaya. Naifnya, secara tersembunyi DKB menganjukan fatwa atas seni gandrung dan seni tradisi lain di Banyuwangi untuk di bahas oleh MUI Banyuwangi. Tentu pertanyaan besar timbul di kalangan seniman tradisi, ada apa ini? K.H. Maksum Syafi’i, wakil ketua MUI Banyuwangi, atas nama lembaganya, merasa tidak perlu gegabah menanggapi permintaan fatwa DKB itu. MUI merasa perlu takut, jika di kemudian hari menjadi sasaran kambing hitam atas lahirnya fatwa tersebut. Maksum sendiri merasa perlu membedakan apa itu seni dan apa itu agama, agama tidak bisa campur tangan terhadap apa yang sudah menjadi tradisi. “Mungkin hanya mengingatkan saja yang kami bisa,” tandas Maksum. Desantara / S.B. Setiawa