Jumat, 12 Agustus 2011

asal Usul Gandrung Banyuwangi

Pada suatu penyelenggaraan upacara di Istana Majapahit, sering dipentaskan suatu bentuk tarian istana yang dikenal dengan istilah “Juru Angin” yaitu seorang wanita menari sambil menyanyi dengan sangat menarik. Penari tersebut diikuti oleh seorang “buyut” yaitu seorang pria tua berfungsi sebagai punokawan penari juru angin tersebut.

Bentuk tarian inilah yang mungkin sebagai prototype suatu bentuk kesenian yang sekarang dikenal denggan “Gandrung”. Hal ini dapat diasumsikan dari bentuk penampilan penari Gandrung yang selalu diikuti oleh seorang pemain Kluncing atau lebih dikeanal sebagai pengundang. Pengundang ini selalu memberikan lawakan – lawakan sehubungan dengan tarian yang dibawakan oleh penari Gandrung. Sebagaimana dimaklumi bahwa pada jaman kehidupan kerajaan – kerajaan maka daerah yang jauh dari pusat kerajaan. Perkembangan seni budayanya mengikuti pola seni budaya pusat. Dalam masa perkembangannya sampai tahun 1890 di daerah Blambangan berkembang bentuk kesenian Gandrung yang penarinya terdiri dari anak laki-laki berumur 7 sampai 16 tahun berperan sebagai penari gandrung dengan pakaian wanita. Pementasan Gandrung laki-laki pada masa itu dilakukan dengan jaln keliling desa-desa kemudian penari tersebut mendapatkan inatura. Gamelan pengiringnya terdiri dari gendang, kethuk, biola, gong dan kluncing. Penari gandrung laki-laki yang lain hanya mampu bertahan sampai 40 tahun dan memilih sebagai penari gandrung sampai akhir hayatnya.

Pemilihan partner penarinya dilakukan dengan melemparkan ujung sampur kepada penonton yang mengelilinginya. Biasanya diawali dari bagian Barat, Timur, Selatan dan kemudian Utara. Pelaksanaan pementasannya biasanya dilakukan pada malam hari terutama pada bulan purnama dihalaman terbuka. Penari gandrung pria pernaha ditampilkan berjumlah empat orang penari secara bersama-sama.

Pada perkembangan terakhir penari gandrung dilakukan oleh seorang wanita dan kebetulan penari gandrung wanita pertama juga penari seblang bernama Semi,putri seorang Penduduk Cungking bernama Mak Midah. Desa Cungking sampai sekarang masih memiliki kesenian seblang yaitu sekarang dikleruhan Bakungan. Urutan penampilan biasanya diawali dengan tari jejer,baru kemudian disusul taridan gending-gending lain sesuai permintaanpara tamu, yang manari bersama penari gadrung biasanya diatur menurut datangnya tamu dalam arens tersebut. Dalam mengatur urutan tersebut biasanya penari gandrung dibantu oleh seorang gedog atau sering disebut pramugari. Sedangkan pada akhir pertunjukan ditutp dengan tari seblang subuh yaitu yang pada syair gendingnya mengandung petuah-petuah bagi para penonton.

Minggu, 28 September 2008

tarian banyuwangi yang saya bangga2kan,.. meskipun saya gak bisa menarikanya,.. saya gak tau apakah saya terlahir sebagai orang osing .,.. kayaknya bukan deh,... soalnya bahasa osing saya juga gak bisa sama sekali meskipun saya tinggal di sekitar banyuwangi. tapi siapapun saya saya cinta dan suka buadaya banyuwangi,.. dan saya sangat menyesalkan bila budaya banyuwangi kian melemah. melalui media ini saya mencoba mengenalkan buadaya banyuwangi yang saya sendiri gak pahan. tapi saya akan belajar memahaminya. punjari Gandrung Banyuwangi Dance t's a traditional dance from east Java, Indonesia Thetel - Thetel ( java dance)

Sabtu, 30 Agustus 2008

Gandrung: Tarian Perlawanan Orang Using PDF Cetak E-mail
Jika dibanding dengan masyarakat lain di Jawa Timur, tampaknya komunitas Using memiliki seni tradisi yang lebih banyak dan beragam. Sebut saja beberapa diantaranya; Gandrung, Jinggoan, Mocoan, Kuntulan, dan Angklung. Masing-masing jenis seni ini pun memiliki maknanya sendiri-sendiri. Dari semuanya mungkin Gandrung menempati posisi yang istimewa. Begitu istimewanya, sehingga pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengukuhkan Gandrung sebagai maskot Kabupaten yang terletak di ujung timur Propinsi Jawa Timur itu, menggantikan lambang sebelumnya; ular berkepala Gatot Kaca. Pengukuhan itu diprakarsai sendiri oleh Bupati Banyuwangi, Samsul Hadi, bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Banyuwangi, 18 Desember 2002 yang lalu. Soal penetapan Gandrung sebagai maskot Banyuwangi tidaklah tanpa kontroversi. Anggota DPRD dari PPP menolak dengan keras keputusan ini, karena menurut mereka, gandrung tidak sesuai dengan Islam, padahal mayoritas masyarakat Banyuwangi pemeluk Islam. Pandangan politisi dari PPP ini mendapat tanggapan serius dari kalangan budayawan yang menganggap bahwa Gandrung tidak melanggar norma-norma Islam, dan justru kesenian inilah yang khas Banyuwangi. Para budayawan juga menganggap bahwa Gandrung mengandung nilai-nilai simbolis perjuangan wong Blambangan sekaligus identik dengan jati diri orang Using dan juga merepresentasikan karakter orang Using yang berakhlak aclak, ladak, dan bingkak (sok tahu, arogan dan tak mau tahu urusan orang lain).

Sebagai tari pergaulan, gandrung tentu saja sangat popular, walaupun dalam beberapa hal mirip dengan tayub, gambyong, jogged, lengger, teledhek, dan ketuk tilu di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Madura Pendalungan. Secara historis, Gandrung tak dapat dilepaskan dari Seblang, sebuah kesenian yang sarat ritual yang keberadaannya terbatas hanya di dua tempat yang terletak di sebelah barat Banyuwangi, yakni desa Bakungan dan desa Olehsari. Pentas Seblang diselenggarakan setahun sekali sebagai upacara ritual bersih desa atau selamatan desa dalam rangka menolak bala, keselamatan warga desa, penyembuhan, kesuburan, dan mengusir roh-roh jahat yang mengganggu ketentraman warga desa. Meskipun unsur hiburan dalam gandrung tampak menonjol, namun di dalamnya terdapat muatan kepercayaan kolektif yang sangat kuat.

Sandi

Kekhasan Gandrung Banyuwangi tampak pada lirik lagunya yang berbahasa Using. Sementara tari-gamelan mengesankan perpaduan Jawa-Bali adalah tampilan yang membedakan dari kesenian kesenian Jawa dan Sunda. Gending-gending yang dinyanyikan berkarakter perjuangan. Lirik lagu-lagu tersebut menggambarkan etos perjuangan rakyat Blambangan sejak zaman VOC. Di dalamnya banyak menggunakan simbol yang hanya dimengerti oleh masyarakat Banyuwangi.

Menurut cerita lisan, kesenian gandrung muncul bersamaan dibangunnya kota Banyuwangi pada saat pemerintahan Mas Alit. Antara lain dikisahkan: Setelah perang Bayu usai, Jaksanegara mengundurkan diri sebagai bupati. Atas usul patih Blambangan yang mendapat sebutan Ki Juru kunci, kompeni menunjuk Mas Alit yang ada di Bangkalan sebagai bupati pada tanggal 7 Desember 1773. Sebelum Mas Alit dilantik sebagai bupati dengan gelar Raden Tumenggung Wiraguna pada tanggal 1 Februari 1774, ia mengusulkan agar ibukota Blambangan dipindahkan. Kompeni menyetujui dengan menawarkan tiga tempat, yaitu Kotta, Ulupangpang, dan Pakusiram. Namun Mas Alit menolak dan menawarkan membuat kota baru di sebelah utara dengan membabad hutan Purwaganda. Setelah dilantik Mas Alit mulai mengerahkan tenaga membabat hutan Purwaganda yang kemudian dikenal dengan nama kota Banyuwangi. Bersamaan dengan dibangunnya kota Banyuwangi muncul kesenian yang diberi nama gandrung.

Sejarah mencatat peristiwa puputan (perang habis-habisan) yang heroik itu terjadi di Bayu, Kecamatan Songgon Banyuwangi. Peristiwa ini amat bersejarah sehingga dijadikan sebagai hari lahir Kabupaten Banyuwangi (meski masih menjadi kontroversi hingga sekarang). Peperangan ini pulalah yang melegendakan nama Sayu (Mas Ayu) Wiwit sebagai tokoh pejuang wanita dari Banyuwangi yang menjadi inspirasi munculnya Tarian Seblang. Bahkan oleh sebagian masyarakat, arwah Sayu Wiwitlah yang dipercaya telah menuntun penari Seblang, terutama pada bagian puncaknya ketika penari Seblang sedang melantunkan gending Sukma Ilang.

Perang Bayu sendiri terjadi ketika VOC berkeinginan untuk menancapkan dominasinya di bagian timur Pulau Jawa sebagai upaya untuk merebut Bali. Watak imperialis yang diperlihatkan oleh VOC tentu saja membangkitkan perlawanan dari rakyat Blambangan yang dipimpin oleh Pangeran Jagapati alias Rempeg. Tetapi akhirnya Blambangan jatuh ke tangan VOC setelah benteng pertahanan di Bayu berhasil dikuasai. Episode inilah yang dilukiskan oleh Hasan Ali sebagai satu tragedi bagi sejarah rakyat Blambangan. “Peperangan ini memakan korban tidak kurang dari 60.000 orang rakyat dari jumlah keseluruhan masyarakat Blambangan yang waktu itu tidak sampai 65.000 orang” tulis Hasan Ali dalam Sekilas Puputan Bayu: Tonggak Sejarah Hari Jadi Banyuwangi.

“Betapapun sakitnya kekalahan dalam perang itu, amat lebih sakit lagi melihat kenyataan bahwa yang memerangi rakyat Blambangan saat itu adalah saudara-saudara sesama pribumi dari Jawa dan Madura yang diperalat oleh VOC,” tambah Hasan Ali yang juga ayah artis Emilia Contessa dan kakek artis Denada ini. “Karena itu,” sambung Hasan Ali, “Kekecewaan masyarakat Using sempat membuat suku Using menutup diri terhadap komunitas luar. Bahkan dari kekecewaan sejarah itulah nama ‘Using’ dipergunakan untuk mengidentifikasi masyarakat Blambangan.”

Konon, akibat perang Bayu, sebagian besar pasukan melarikan diri ke hutan atau menyingkir ke pedalaman. Dalam jangka waktu yang lama, mereka bertahan di hutan, melakukan perang gerilya. Komunikasi diantara para gerilyawan dapat terjalin berkat partisipasi gandrung lanang yang pada awal pemunculannya digunakan sebagai media perjuangan. Para gandrung lanang menari sambil membawakan lagu-lagu perjuangan (bahasa sandi) mendatangi tempat-tempat yang dihuni rakyat Blambangan untuk memberi informasi tentang keberadaan tentara Belanda. Selain itu mereka juga mempengaruhi dan menganjurkan rakyat Blambangan agar meninggalkan hutan, keluar dari tempat persembunyiannya untuk segera membentuk masyarakat baru.

Pada masa pemerintahan Mas Alit, kesenian Gandrung banyak mengalami perubahan baik dalam tata busana, instrumen musik, maupun lagu-lagu (gending-gending) paju untuk mengiringi tari dan seni pencak silat. Perubahan juga terjadi pada primadona gandrung, yang semula diperankan oleh pria kemudian diganti perempuan. Pola pementasan gandrung terdiri atas: Jejer, Paju, Seblang-seblang. Musik iringan gending jejer yang semula gegap-gempita beralih menjadi irama lembut dan penari mulai melantunkan tembang Padha Nonton sebagai lagu wajib. Gending Padha Nonton terdiri atas delapan bait dengan tiga puluh dua baris. Biasanya gending dilagukan delapan baris saja dan untuk melagukan delapan baris berikutnya selalu dimainkan dua atau tiga lagu sebagai selingan. Dalam gending selingan banyak dipadati pantun-pantun daerah setempat yang disebut basanan dan wangsalan, seperti tampak dalam syarir Padha Nonton berikut:

Padha nonton

Pundhak sempal ring lelurung

Ya pedhite, pundhak sempal

Lambeyane para putra

Para putra

Kejala ring kedhung liwung

Ya jalane jala sutra

Tampange tampang kencana

Kembang Menur

Melik-melik ring bebentur

Sun siram-siram alum

Sunpethik mencirat ati

Lare angon

Gumuk iku paculana

Tandurana kacang lanjaran

Sak unting kanggo perawan

Kembang gadhung

Sak gulung ditawa sewu

Nora murah nora larang

Kang nawa wong adol kembang

Sumbarisena ring Tenmenggungan

Sumiring payung agung

Lambayano membat mayun

Kembang abang

Selebrang tiba ring kasur

Mbah Teji balenana

Sunenteni ring paseban

Ring paseban

Dhung Ki Demang mangan nginum

Selerengan wong ngunus keris

Gendam gendhis kurang abyur

Gending Padha Nonton sebenarnya puisi yang menggambarkan perjuangan untuk membangkitkan semangat rakyat Blambangan melawan segala bentuk penjajahan. Meskipun demikian, keindahan syairnya juga mampu menciptakan ritme vokal untuk mengiringi tari penghormatan sebagai ucapan selamat datang bagi para tamu, seperti halnya tarian gambyong pada awal pertunjukan tayub atau Kidung Salamat pada pertunjukan jaipong. Pesan perjuangan penuh makna simbolis ini dituangkan melalui kata-kata sandi. Makna pesan inilah yang kemudian menjadi dasar perwatakan masyarakat Using dalam menciptakan identitasnya.

Perlawanan

Kesenian Gandrung, tidak lain adalah gambaran perlawanan kebudayaan sebuah masyarakat. Perlawanan terhadap berbagai ancaman, baik yang bersifat fisik maupun pencitraan negatif yang berulang kali terjadi dalam kesejarahan masyarakat Using. Dalam konteks pencitraan, misalnya tampak bagaimana sejarah nasional menggambarkan sosok Ronggolawe yang memberontak karena menjadi korban intrik internal di lingkaran Prabu Wijaya, Raja Majapahit pertama. Nasib Ronggolawe berakhir sebagai pemberontak di bumi Sadeng. Padahal, masyarakat setempat mencatat nama Ronggolawe sebagai tokoh yang berperan sangat besar dalam membantu Prabu Brawijaya mendirikan kerajaan Majapahit. (Dan nasib serupa pun dialami oleh tokoh-tokoh Majapahit sejamannya: Lembu Sora dan Nambi).

Masyarakat dan budaya Using secara historis adalah masyarakat Blambangan, sebuah kerajaan di wilayah ujung timur Pulau Jawa. Sedangkan lahirnya kota Banyuwangi, sebagai nama kabupaten erat kaitannya dengan kerajaan Blambangan yang pada awalnya lebih merupakan bagian dari kerajaan Majapahit. Tapi daerah yang dikenal subur bahkan merupakan lumbung padi Majapahit, kemudian menjelma menjadi pusat kekuatan oposisi yang dalam versi Majapahit maupun kerajaan Jawa Kulon sesudahnya selalu dikategorikan sebagai “konsentrasi pemberontak” dan memuncak dalam peperangan Paregreg (1401-1404). Perang Paregreg sendiri mengilhami penulis cerita perang antara Damarwulan dan Menakjinggo yang kemudian sering dilakonkan dalam pertunjukan Ketropak Mataram dan Jinggoan Banyuwangi dalam versi yang berlawanan. Jika dalam Ketropak Mataram Menakjinggo ditampilkan sebagai pemberontak, penindas rakyat, bertubuh cacat, maka di Jinggoan Banyuwangi ia ditampilkan sebagai pahlawan, gagah berani, tampan, dan memeperdulikan nasib rakyatnya.

Semua gambaran negatif tentang Minak Jinggo (Bre Wirabumi) itu ditolak keras oleh Budayawan Banyuwangi, Hasan Ali. “Itu tidak benar. Salah besar kalau Bre Wirabumi dikatakan buruk muka. Dia ngganteng, hanya saja memang ada goresan-goresan luka di wajahnya. Itupun karena pertempurannya dengan Kebo Marcuet. Dan ia berangkat ke Majapahit bukan dengan maksud memberontak, tapi sekedar ingin menagih janji Majapahit.”

Senada dengan Hasan Ali, Andang CY, seorang seniman kawakan Banyuwangi menuturkan, ”Menak Jinggo sesungguhnya adalah pahlawan masyarakat Banyuwangi. Pertama, ketika dia menumpas Kebo Marcuet yang lalim. Kedua, ketika ia mengangkat senjata melawan Majapahit yang menurutnya telah mengingkari janji untuk menghadiahinya Putri Kencono Wungu setelah mengalahkan Kebo Marcuet.” Nyatanya, Menak Jinggo dikalahkan oleh Damarwulan, seorang anak bekel (tukang kuda) yang kemudian memperistri Putri Kencono Wungu. Bahkan, kekalahan Menak Jinggo inipun berlanjut sampai pada penulisan sejarah tentangnya.

Hikmah

Sebagai satu daerah strategis untuk berinteraksi dengan Nusantara bagian timur, sejak dulu Blambangan tidak lepas dari incaran kerajaan-kerajaan besar di Jawa, termasuk Mataram Islam. Tercatat beberapa kali Sultan Agung melancarkan ekspedisinya untuk menaklukkan Blambangan, bersaing dengan Kerajaan Buleleng Bali. Meskipun gagal, usaha penaklukan ini toh telah menyakitkan perasaan masyarakat Blambangan.

Bisa jadi, letak Banyuwangi sebagai perlintasan antar kebudayaan –yang menjadikannya menjadi ajang klaim dan perebutan wilayah geografis– membawa hikmah tersendiri bagi pengembangan kebudayaan Using. Pergesekan kebudayaan sebagai implikasi dari pertarungan perebutan geografis telah mendewasakan produk kebudayaan Using sehingga menjadi sangat fleksibel terhadap unsur-unsur kebudayaan dari luat. Maka corak produk kebudayaan masyarakat Using—sebagaimana juga halnya kebudayaan Jawa—sesungguhnya kental dengan nuansa “sinkretik” dan “akulturatif”.

Orang tentu dapat melihat bagaimana maskot Kabupaten Banyuwangi sebelum Gandrung adalah ular naga berkepala Gatotkaca. Ular Naga adalah makhluk dalam mitologi Cina. Sementara Gatotkaca adalah adopsi yang dilakukan seniman wayang era Demak (Sunan Kudus dan Kalijaga) terhadap cerita Mahabarata dari India. Atau hadrah Kuntulan, Barongan Using, Angklung Caruk dan masih sangat banyak lagi.

Adakah ini semacam olok-olok kebudayaan dengan bungkus sanepan yang sangat halus? Bahwa siapapun –dan apapun– yang melintasi wilayah kebudayaan Using harus menerima kenyataan bahwa dirinya sedang dipribumikan oleh masyarakat Using. Seperti Segitiga Bermuda atau Lubang Hitam (Black Hole) di antariksa yang akan menyedot setiap materi yang melintasinya? Desantara

Sinkretisme, Sebuah Solusi PDF Cetak E-mail
 Andrew Beatty, antropolog yang cukup lama melakukan penelitian di Banyuwangi, menyatakan: Kanjeng Nabi Muhammad, leluhur desa, dan lelembut yang mbahurekso desa dikirimi al-Fatihah secara bersama dalam slametan Orang Using Banyuwangi. Lukisan yang lain, seperti dibuat Novi Anoegrajekti, tasbih dan dupa yang mengepulkan asap kemenyan bertaburan bersama dalam kehidupan keagamaan di daerah ujung timur Pulau Jawa itu. Dua lukisan yang menjelaskan tentang sesuatu sekaligus kemampuan Orang Using dan sebagian besar penduduk Banyuwangi mengawinkan Islam dan tradisi lokal. Sinkretisme—begitu banyak orang menjuluki realitas seperti itu. Sesuatu yang amat lazim dalam keberagamaan Islam Indonesia, dan Islam di mana pun. Geertz yang menelusur Islam dari Indonesia ke Maroko melihat kemiripan-kemiripan dimana sinkretisme menonjol. Sinkretisme rupanya adalah keniscayaan yang dialami bukan saja oleh ajaran-ajaran agama yang diturunkan dari langit tetapi juga kekuatan-kekuatan besar seperti modernitas, kapitalisme, sosialisme, dan marxisme. Ketika agama atau kekuatan-kekuatan itu hadir di suatu wilayah, ia selalu berhadapan dengan kekuatan kebudayaan setempat yang berdiri tegak sejak lama. Islam hadir di Pulau Jawa, misalnya, selalu digambarkan berhadapan dengan Hindu-Buddha dan tradisi Jawa itu sendiri.

Justru sinkretisme itulah kenyataan kebudayaan yang paling umum di dunia. Para pengkaji kebudayaan kontemporer sepakat bahwa tidak ada di dunia ini yang tidak sinkretik. Dalam wujudnya yang paling konkret, agama, pengetahuan, modernitas, kesenian, dan etnis adalah hasil perkawinan berbagai unsur. Sehingga, persoalan keaslian dan otentisitas menjadi sesuatu yang diragukan: adakah ia?

Lalu bagaimana dengan puritanisasi yang selalu mengimajinasi, bahkan ingin menegakkan, keaslian? Di sinilah soalnya. Para pengkaji kebudayaan percaya bahwa apa yang dirumuskan sebagai asli, karena perbedaan waktu dan ruang, ternyata adalah fantasi keaslian, bukan keaslian itu sendiri. Di samping karena yang terakhir ini lebih merupakan sesuatu yang tidak mungkin berulang persis seperti adanya, ia adalah hasil percampuran berbagai unsur yang terjadi pada masanya.

Masihkah kita risau apabila panutan kita, Kanjeng Nabi Muhammad, dikirimi al-Fatihah bersama leluhur desa? Apakah kemarahan kita akan tersulut ketika melihat bahwa tasbih dan dupa menjadi kenyataan Islam di suatu tempat? Lebih lanjut, masihkah kita hendak mengembalikan sesuatu pada aslinya? Masihkah pula kita ingin membersihkan sebuah kebudayaan atau kesenian tertentu dari campuran berbagai unsur yang dianggap mengotori sehingga menjadi “bersih” seperti aslinya?

Apakah kita mau mengulang peristiwa Rogojampi awal 2006 lalu yang menimpa endhok-endhokan hanya karena kita ingin membersihkan dan mengembalikan pada keaslian yang sesungguhnya imajinatif? Ketika apa yang kita anggap sebagai asli ternyata adalah imajinasi tentang asli, maka sebenarnya tidak ada cara lain kecuali kita menghormati kreatifitas dan ijtihad baru dalam kebudayaan termasuk dalam kehidupan keberagamaan. Desantara / Bisri Effendy

Tarian Kehidupan Gandrung Temu PDF Cetak E-mail
ImageTarian Gandrung Temu adalah tarian kehidupan. Setiap geraknya adalah riwayat. Panggungnya keseharian, di mana musim panen dan paceklik adalah dua musim yang satu dan garisnya abu-abu. Temu Mesti adalah penari Gandrung terkemuka di Banyuwangi, Jawa Timur. Meski usianya 53 tahun, posisinya dalam kesenian tradisional Banyuwangi itu belum tergeser oleh para penari muda. Tinggi badannya sekitar 170 cm, berperawakan sedang. Suaranya yang melengking jernih masih belum tertandingi.
N
amun, seperti banyak seniman tradisional, hidupnya jauh dari gemerlap. Rumahnya di Dusun Kedaleman, Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, berukuran 7 x 12 meter persegi, dengan perabotan apa adanya. Itulah hasil keringatnya selama lebih dari 35 tahun menari Gandrung. Pada masa jayanya, ia hanya sempat tidur di rumah tiga-empat hari dalam sebulan. Sekarang, pesanan pentas sekali seminggu saja sudah sangat bagus. "Banyak tontonan yang bisa dipilih orang hajatan dengan honor bersaing, seperti dangdut," kata Temu. Setiap pentas ia dan kelompoknya menerima Rp 1,5 juta. Setelah dibagi-bagi, ia mendapat honor bersih Rp 250.000. "Dulu penarinya cuma satu. Jadi honornya untuk sendiri," katanya. Mulai tahun 1995-an ada tiga-empat gandrung yang menari. Temu ditemui suatu petang setelah kampanye pemilihan kepala desa. Suaranya yang mengalun lewat pengeras suara dari truk yang berjalan mengelilingi desa masih terngiang. Temu duduk di bawah dengan pakaian sehari-hari, tersembunyi di antara sosok lima penari Gandrung muda yang berdiri di badan truk mengumbar senyum. Kerja dua jam pesanan dari salah satu calon kepala desa itu honornya Rp 60.000. "Lumayan," ucapnya. Kata "lumayan" itu bukan basa-basi. Setiap rupiah adalah nafas, terutama menjelang bulan-bulan sepi pesanan, dan ia harus membuat rempeyek teri, kedelai, dan kacang tanah untuk menyambung hidup. "Bulan puasa, Maulud dan Suro, enggak ada orang hajatan di sini," lanjut Temu. Pelanggaran Bagi Temu, hidup adalah berkesenian. Gandrung membuatnya menggandrungi hidup, seberat apa pun jalannya. Kibasan sampur Gandrung seperti mengibaskan ketaktertanggungan masalah. Karena itu, meski menyandarkan hidup pada Gandrung, uang bukan segalanya. Seperti paradoks. Ia mempertaruhkan hidupnya di situ, sekaligus tak kenal kompetisi: Gandrung lebih penting ketimbang dirinya. Sikap itu tanpa disadari menjadikannya "mangsa" bisnis kesenian dan kebudayaan yang jaring-jaringnya melampaui batas desa, bahkan wilayah negara. Temu, yang tidak pernah menyelesaikan pendidikan Sekolah Rakyat itu, tidak tahu bahwa ia tergulung ke dalam gelombang pasar bebas, di mana multikulturalisme dimaknai tak lebih sebagai komoditi, minus penghargaan pada hak kekayaan intelektual. Suatu pelanggaran yang banal. Suara Temu menjadi bagian eksotisme "Timur" yang terus direproduksi dan secara bisnis memberikan keuntungan besar. Farida Indriastuti, kontributor lepas kantor berita Italia yang melakukan penelitian tentang multikulturalisme-diselenggarakan oleh Srinthil, majalah perempuan multikultural-menemukan, CD Temu Songs Before Dawn (Lagu Menjelang Fajar) dijual di AS antara 15 dollar-18 dollar AS, di Eropa sekitar 20 euro per keping. Nilai jualnya di satu online lebih dari 12.000 keping. Padahal lebih dari 10 online menjual reproduksi suaranya. Pertengahan Juli 1992, Amazon.com AS mencatat penjualan "Songs Before Dawn" sebanyak 284.999 copy dalam 24 jam. Foto Temu menari ditaruh di sampul belakang CD, sementara sampul depannya berhias penari Gandrung lain dari Banyuwangi. Hak ciptanya dipegang suatu lembaga pendidikan terkemuka di AS. Nama Temu tak disebut sama sekali di situ. Temu hanya tahu pernah ada orang asing yang merekam gambar dan suaranya, katanya, untuk proyek kebudayaan Indonesia. Lama rekamannya 10 jam, dengan upah Rp 60.000 atau Rp 6.000 per jam, dan Rp 25.000 per orang atau Rp 2.500 per jam untuk enam panjak (nayaga). Katanya, rekaman itu bukan untuk keperluan komersial. Di tingkat lokal pun sama saja. Suara emasnya sudah menghasilkan enam album Gandrung dan satu album versi Jaipong untuk karaoke. Honornya dihitung per paket, antara Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta, tak tergantung berapa keping CD atau kaset yang terjual. Menurut penyelidikan Farida, VCD Temu pernah terjual 10.000 keping sehari. Pada 1999 Temu dihubungi pejabat setempat untuk pentas ke Jakarta, tetapi lalu diganti orang lain, tanpa pemberitahuan. Karena itu, ia menolak ketika ditawari berangkat ke Kalimantan Timur beberapa waktu lalu. Suatu hari, seorang pejabat memberi tahu, Temu mendapat penghargaan internasional. Ternyata penghargaan itu dari Dinas Pariwisata bekerja sama dengan Pendidikan Seni Nusantara (PNN). Gambar dari sertifikat "internasional" itu dibingkai kayu murahan berupa fotokopi sampul rekaman VCD dari proyek kesenian rakyat lembaga filantrofi internasional yang merekam suara dan tarian Temu bertahun-tahun lalu itu. "Lha saya bisa apa?" itu jawabnya ketika ditanya bagaimana ia menyikapi semua itu. "Saya kembalikan saja pada Yang Punya Hidup." Sejak tahun 1980 Temu hidup sendiri. "Malas nggodok wedang. Capek," katanya. Dua perkawinannya gagal, tanpa anak. Sekarang ia mengasuh cucu keponakan dan merawat kakak ibunya "Enak sih punya suami. Tapi daripada sakit gigi, he-he-he.." Jalan Hidup ImageSejarah hidup Temu sebagai penari Gandrung kental diwarnai tradisi. Waktu kecil, ceritanya, ia sakit-sakitan, tak mau makan. Orangtua membawanya kepada seorang dukun bernama Mbah Kar untuk di-suwuk. Sepulang dari situ, Temu kecil tiba-tiba minta makan. Ibunya membawa dia ke rumah juragan Gandrung bernama Mbah Ti’ah. Di situ Temu makan sangat lahap. Lalu Mbah Ti’ah mengatakan, "Jadikan dia gandrung kalau sudah besar." Sejak itu, Temu kecil mulai suka menari. Darah seni sebenarnya mengalir dari garis ayahnya. Sang ayah adalah penari ludruk. Kakeknya ahli mocoan lontar. Meski awalnya tak mau jadi penari Gandrung, Temu mulai naik pentas pada usia 15 tahun. Tahun 1969 itu penari Gandrung perempuan berada di puncak kejayaan. Gandrung Banyuwangi didominasi penari laki-laki sampai tahun 1950-an. "Mula-mula takut," kenangnya. Tak lebih dari setahun, Temu menapak jenjang sri panggung. Honornya jauh di atas penari-penari seniornya. Lirik lagu ciptaannya mengena dan sering menohok persoalan yang dihadapi penonton. Temu mengaku tak pernah baca mantra sebelum pentas. "Kalau pakai itu, cuma bertahan sebentar," katanya. Untuk menjaga kualitas suara, ia tak makan pedas dan gorengan, dan mempertahankan syarat utama: menahan kencing semalaman atau sekitar sembilan jam! Seandainya dilahirkan kembali, apakah ia mau meniti jalan yang sama, sebagai penari Gandrung? Jawab Temu, "Saya mau tidur pada waktunya orang tidur. Bukan teriak-teriak nyanyi dan pencilatan menari.." Kompas, 26 Oktober 2007. Maria Hartiningsih
Dari Kemiren ke Hollywood PDF Cetak E-mail
ImageMalam itu hujan mengguyur. Udara dingin menusuk tulang. Di ujung Desa Kemiren, Banyuwangi, tersua panggung gandrung terop lengkap dengan panjak dan niyaga pengiring pengantin. Tata panggungnya sederhana. Pencahayaan seadanya. Dari belakang muncul gandrung Temu melenggok, mengibaskan sampur, dan menggoyang pinggulnya yang sintal diiringi dua gandrung muda.

G
andrung Temu begitu bertenaga. Tak tersirat usianya yang telah separuh abad lebih. Di wajahnya tebersit gurat bahagia. Pipi merona merah, kulit langsat bersinar, dan mata berbinar. "Itu berkat srensen," kata perias Temu. Konon srensen dipakai agar si gandrung tampak cantik memikat.

Menguasai tembang-tembang klasik, Temu juga piawai menyapa penonton dan melayani pemaju gandrung tanpa pilih-pilih. Sesekali tangannya bergerak cepat, menangkis keisengan pemaju. "Kalau ada yang mau mencium, omprok (mahkota) ini senjata saya," kata Temu. Tak ayal, dalam saban pentas gandrung Temu selalu jadi primadona.

Keunikan suara Temu menyeruak hingga menggugah rasa ingin tahu banyak peneliti atau etnomusikolog, dari dalam dan luar negeri. Bagi para peneliti, Temu juga merupakan sebuah korpus ilmu pengetahuan etnik yang unik. Kepopuleran Temu sampai mendorong para peneliti menjalin kerja sama dengan organisasi nirlaba dan lembaga donor internasional. Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI), Ford Foundation (FF), serta Center for Folklife Programs and Culture Studies Smithsonian Institution mensponsori proyek Seri Musik Indonesia, menghasilkan album bertajuk Nyanyian Menjelang Fajar: Gandrung Banyuwangi.

Pada Juni 1953, Ford Foundation membuka kantor pertamanya di Jakarta, hanya satu kamar di Hotel des Indes. Selama 50 tahun Ford Foundation dan mitra kerjanya di Indonesia memberikan dukungan hibah berupa proyek seni budaya, seperti penelitian dan dokumentasi budaya, pelestarian benda dan penguatan kedudukan akademis dari ilmu seni budaya, khususnya etnomusikologi.

[....]

Fokus baru, Ford Foundation bersama MSPI adalah memprakarsai sebuah proyek penelitian mengenai dampak dari Undang-undang Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) terhadap kesenian tradisional; dan juga proyek revitalisasi untuk menjamin pewarisan kesenian tradisional dari seniman-seniman generasi lama ke generasi baru (Philip Yampolsky, Program Officer Art and Culture, Jakarta, Desember 2005).

Kajian dan analisis tentang gandrung menembus batas negara. Peneliti asing seperti Joh Scholte, Paul A Wolbers, Bernard Arps, dan Philip Yampolsky singgah lama di Banyuwangi. Temu mengenang, "Saya kenal Pak Philip tahun 1980. Terus dia tanya, gerakan apa itu? Saya jawab ini tarian terbang...!" Dari perjumpaan yang liat itu, Philip Yampolsky, musikolog dan pejabat program Art and Culture, Ford Foundation, merekam Temu pada 15 Oktober 1990 di Kemiren.

Angka fantastis

Sebelum kenal Philip Yampolsky, pada 1975 Temu telah masuk industri rekaman di Banyuwangi. Album kompilasi Temu, Disco Etnik Banyuwangi, yang direkam Sandi Record mampu menembus angka penjualan fantastis: 50.000 VCD dan 10.000 kaset dengan distribusi meliputi Jawa, Madura, dan Bali. Ironisnya, aktor penting di balik label Sandi Record mengeluh merugi walaupun mereka mengantongi untung Rp 350 juta. Toh, karena masih bisa bernegosiasi, Temu menganggap honor Rp 1 juta per lagu cukup baik. Temu sadar terseret arus modal yang sangat besar dari industri rekaman. Kini ia berurusan pula dengan organisasi nirlaba serta lembaga donor internasional.

ImageSekeping CD Song Before Dawn yang dinyanyikan Temu dan tergeletak di meja ruang tamu Temu telah membuka arah jalan penelitian saya (yang berlangsung di Desa Kemiren, Desa Olehsari, dan Kota Banyuwangi 2 Agustus-2 September 2007, dilanjutkan di Kota Jember 3-13 September 2007). Begitu saya telusuri, ternyata CD itu (edisi Indonesianya bernama Gandrung Banyuwangi) dijual di Toko Buku Kalam, Jakarta. Pikir saya, bila CD-nya bisa dibeli bebas di Jakarta, tentu jalur distribusinya meluas ke aras internasional. Dugaan saya tepat! CD Song Before Dawn didistribusikan ke berbagai negara, dari kawasan Asia Pasifik, Uni Eropa, Eropa Timur, Amerika Serikat dan Amerika Latin dalam format CD, kaset, dan unduhan (download) via internet. Saya tak mengira bila penelitian tentang gandrung Temu akan melompat dari aras lokal menuju global.

Bila benar CD Song Before Dawn tak dikomersialkan, mengapa ia diperjualbelikan sedemikian luas? Jalur distribusinya mudah dilacak di internet. Di amazon.com (AS), misalnya, harga per keping CD Temu 16,98 dollar AS, MP3 unduhan 8,99 dollar AS, dan unduhan 0,99 dollar AS per lagu. Di amazon.com (Perancis), harga per keping CD 20 euro dan MP3 unduhan 8,99 euro.

Pada medio Juli 1992, amazon.com (AS) mencatat angka penjualan album CD Song Before Dawn sebanyak 284.999 keping (dalam tempo 24 jam). Bila dihitung dengan kurs Rp 10.000 per dollar AS (Rp 189.900/CD), hasilnya Rp 550.418.102.000. Angka yang fantastis!

Pada 8 Februari 1991 amazon.com (Perancis) mencatat angka penjualan CD Song Before Dawn 261.752 keping. Bila dihitung dengan kurs Rp 14.000 per euro (Rp 280.000/CD), hasilnya Rp 73.290.560.000. Angka Rp 73.290.560.000 ini hanya dari penjualan CD Song Before Dawn, belum termasuk penjualan kaset atau MP3 unduhan.

Dalam kurun tahun 1992–1997, kurs rupiah atas dollar AS ada di kisaran Rp 2.500– Rp 5000 (sebelum terjadi krisis moneter pada Juli 1997), begitu juga kurs rupiah atas euro. Toh, bila dihitung dengan kurs Rp 2.500 (Rp 42.450/CD), tetap saja pendapatan dari penjualan CD Song Before Dawn masih sangat besar, Rp 12.310.457.550. Saya tidak bisa memastikan berapa angka penjualan album Song Before Dawn tahun-tahun terakhir (2000-2007) saat kurs rupiah atas dollar AS mencapai Rp 10.000. Hingga tahun 2000-an, penjualan album Song Before Dawn masih bisa dilihat di situs Smithsonian Global Recordings (AS) seharga 15.00 dollar AS/CD dan amazon.com (Perancis) seharga 20 euro/CD.

Dari berbagai situs toko musik online di pelbagai negara— kecuali Uni Afrika dan Timur Tengah—yang dapat saya catat, tampak bahwa CD Temu tak hanya dijual di amazon.com (AS) dan amazon.com (Perancis). Penjualan juga dilakukan oleh CdeMusic (Distribution Program of Electronic Music Foundation) yang memiliki jaringan internasional, seperti CdeMusic Store Jepang (17.00 dollar AS/CD), CdeMusic Store Australia, CdeMusic Store Perancis, dan CdeMusic Store California.

Selain di amazon.com Jepang (2.500 yen/CD), amazon.com Inggris, amazon.com Kanada, MSN Encarta Elderscroll-Spanyol, MSN Music, Fonoteca Municipal, Musicme, Music Greenwater-Rusia, JSTOR (12 dollar AS/CD), Barnes & Noble.com (16,99 dollar AS/CD), Best Price, Halfvalue.com (16,98 dollar AS/CD), YouTube Broadcast Amerika, YouTube Broadcast Polandia, The Hamilton-Wenham Public Library, Fatchancla, Wmfv.org-New Jersey City, Zoo Keeper Online dan Smithsonian Global Recordings (15 dollar AS/CD dan 10 dollar AS/kaset, Love Online (15 dollar AS/CD), Muzprosvet—Rusia, Aiaa.org.au (Rp 45.000/CD belum termasuk ongkos kirim), Music.wenchoice.com (16,98 dollar AS/CD), New Reader, Skuntry.com, Amusicarea.com, Hmvo.co.jp (1.568 yen/CD), Worldmusic Store (15,99 dollar AS/CD), Media-maniac.com, Culta.com, CDe Music.org (17 dollar AS/CD), Dgdiffusion.com, Folkways, Homeswipnet, Emusic.com, Download Store, Fonoteca.cm.lisboa, Technobeat.com, Caroline.hartfordpl, Swan.mls.lib, dan Answer.com (15 dollar AS/CD). Bahkan, amazon.com (Perancis) mengategorikan album Song Before Dawn sebagai "Various Artists" (bertanda bintang lima).

Siapa tak takjub dengan prestasi luar biasa Temu ini? Namun, coba bayangkan, Temu cuma diupah Rp 60.000 dengan perhitungan 10 jam bekerja, dari pukul 7 pagi hingga 5 sore. Atau, Temu hanya mendapat upah Rp 6.000 per jam. Sementara di Amerika Serikat, yang jaraknya berjuta-juta mil dari Desa Kemiren, CD Song Before Dawn terjual 12.000 keping (hanya di satu toko online). Berarti pendapatan dari penjualan CD Temu: Rp 2.278.800.000 (total dalam satu jam). Ironisnya, tak sepeser pun uang royalti diterima Temu. Kabarnya, suara Temu juga dijadikan soundtrack film Hollywood, berdurasi 5 detik. Lagi-lagi tanpa royalti.

Peredaran uang dari penjualan CD, kaset, dan unduhan Song Before Dawn sangat besar. Ke mana muara pusaran uang itu? MSPI, FF, dan Smithsonian Institution harus bertanggung jawab atas kelalaian—HAKI—Temu dan hak komunal masyarakat Banyuwangi (penggunaan syair-syair klasik gandrung di album Song Before Dawn).

Dalam UU Hak Cipta RI No 19/2002 disebutkan, bila lagu dan penciptanya anonim, pada bagian ke 3, Pasal 10 Ayat (2): Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama. Seharusnya, seperti pada Ayat (2), dalam rangka melindungi folklor dan hasil kebudayaan rakyat lain, Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa seizin Negara Republik Indonesia sebagai Pemegang Hak Cipta. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut.

Ketidakadilan adalah kata yang tepat untuk menggambarkan jerat kapitalisme global terhadap Temu. Ia telah dimanipulasi untuk kepentingan "lembaga". "Lembaga asing yang mensponsori Temu punya maksud lain," kata Kusnadi, antropolog maritim di Universitas Jember. "Mereka diuntungkan, sementara Temu terpinggirkan."

Aekanu Hariyono, Humas Dinas Pariwisata, menilai positif kepedulian MSPI, FF, atau Smithsonian Institution terhadap kehidupan seniman tradisi di Banyuwangi. Ditanya tentang album Temu yang direkam Philip Yampolsky, ia berujar, "Justru saya bangga sebab Temu dikenal banyak orang. CD Temu bukan dikomersialkan, tetapi hanya untuk bahan kajian musik tradisi. Cuma saya yang punya CD itu, tidak dijual di toko kaset di Banyuwangi!"

Pada tahun 1991, Smithsonian Folkways Recordings mengeluarkan publikasi resmi di AS dalam edisi Indonesia Seri Musik Indonesia ditulis oleh Rahayu Supanggah (etnomusikolog), Endo Suanda (Ketua MSPI), dan Philip Yampolsky (FF). Dalam pengantarnya Endo Suanda menuturkan, "Salah satu pemikiran utama MSPI dan Smithsonian Institution untuk mensponsori penerbitan Seri Musik Indonesia (Album Gandrung Banyuwangi), yakni untuk menghargai dan memupuk kehidupan budaya yang majemuk. Jadi penerbitan musik yang kurang dikenal ini sama sekali tidak disertai niat untuk menunjukkan atau apalagi mengeksploitasi eksotisme kesenian kita sendiri."

Padahal, hak cipta album Song Before Dawn dipegang Smithsonian Institution yang bermarkas di Washington DC tanpa memberi royalti kepada Temu. Di luar itu, di berbagai toko musik online, saya mencatat pelanggaran HAKI berupa penyalahgunaan karya foto bergambar Gandrung Mudaiyah untuk sampul album Song Before Dawn serta penghilangan nama Temu sebagai penyanyi dan Basuki sebagai penyanyi latar. Yang disebut hanya: "Musik of Indonesia, Vol 1, Song Before Dawn".

Ketika bertemu Mudaiyah, saya perlihatkan sampul Song Before Dawn. Ia tidak tahu-menahu. "Saya gak merasa diajak siapa pun." Berkali-kali saya bertanya, kenalkah ia dengan Philip Yampolsky? Mudaiyah menjawab tegas, "Kenal Philip saja tidak, apalagi diajak kerja sama."

Pada 12 Agustus 2007 saat menghadiri Mocoan (tradisi membaca lontar dari tafsir Surat Yusuf), saya bersua dengan peneliti Belanda, Bernard Arps, akademikus Universitas Leiden dan penulis buku Tembang in Two Traditions: Performances and Interpretations of Javanese Literature. Tampaknya Bernard berkawan baik dengan Philip Yampolsky. "Saya kenal Philip sejak 1980-an," katanya. Ketika saya singgung soal album Song Before Dawn yang dikomersialkan, ia menjawab, "Philip itu orangnya fair, njunjung dhuwur istilah Jawa-nya. Entah kenapa bisa begitu? Saya yakin Philip punya itikad baik." Menurut Bernard, di Amerika sudah lumrah bahwa rekaman musik folklor dikomersialkan oleh Smithsonian Global Recordings. "Barangkali tidak hanya CD Temu, tetapi banyak musik folk yang lain. Sayangnya, saya tak tahu kesepakatan Temu dengan Philip seperti apa?" kata Bernard yang fasih berbahasa Indonesia, Jawa, dan Using.

Inikah risiko globalisasi yang melahirkan kebebasan teknologi dan pasar bebas yang dibingkai apik oleh kapitalisme? Artinya, pasar bebas hanya menguntungkan "raksasa modal". Apa yang diperoleh Temu? Tak sepeser pun uang! Kemajuan materi tak memberi sumbangan yang berarti bagi Temu walaupun hal itu membuat seni tradisi lebih bernilai. Benar kata Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi 2001, "Globalisasi tidak otomatis menguntungkan orang miskin!"

Kekesalan

"Duh, mau beli salon (pelantam) saja gak nyampek duite," kata Temu. Kekesalannya membuncah. Profesi yang ia lakoni sejak tahun 1969 itu tak memberinya kemapanan. Tekanan ekonomi juga dirasakan panjak Temu bernama Basuki yang biasa disapa sebagai Pak Uki (75). "Tahun 1970-an dulu gandrung bisa dapat 30 kali tanggapan dalam sebulan. Sekarang sepi!" kata Basuki. "Dua bulan gak ada tanggapan sama sekali. Sampai gelas digadaikan untuk makan!"

Beruntung, Temu masih menerima bagi hasil dari sepetak sawah warisan. Ia juga menjual peyek dengan menitipkan di warung tetangga. "Penghasilan gak pasti," kata Temu. Upahnya dari gandrung terop Rp 250.000, selain itu Temu nyinden di acara hajatan dengan upah Rp 100.000, dan di saat musim kampanye pilkades ia diupah Rp 60.000.Image

Temu dimiskinkan secara ekonomi. Ia hanya ditarik ulur demi dalih menumbuhkan seni tradisi lokal. Kusnadi, peneliti wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Jember, melontarkan kritik tajam kepada peneliti yang oportunistik, "Peneliti bertanggung jawab moral terhadap Temu. Peneliti harus memberi umpan balik kepada pihak yang diteliti. Jadi, bukan sekadar ajang prestise atau prestasi akademik."

Temu dipermainkan birokrasi lokal, misalnya diberi award dari Kanada pada 14 Agustus 2001. Padahal, itu award palsu! Aekanu Hariyono dari Dinas Pariwisata mengakui bahwa "award" itu dibesar-besarkan. Itu hanya plakat dari pemerintah daerah yang diberikan ke Temu, (tapi) seolah-olah datang dari Kanada," katanya.

Terakhir kali saya bersua dengan Temu, ia menghela napas panjang sambil menyodorkan buku suntingan Philip Yampolsky bertajuk Perjalanan Kesenian Indonesia. Di buku itu Yampolsky menuturkan kisah Temu, "Saya akan terus menari sampai saya tidak laku". Temu seolah menyindir kehadiran saya, seperti halnya Yampolsky. Orang-orang cuma datang mengunjunginya, lalu pergi. "Ah, kabeh lali. Sing kuoso sing mbales!" kata Temu. Farida Indiriastuti. Kompas Sabtu, 03 November 200

Menyingkap Selaput-selaput Buram: Dilema Kesenian Tradis

i PDF Cetak E-mail
ImageDilema kita adalah ketika menemukan dan menyikapi tarikan berseberangan: bawah dan elite; promosi dan eksploitasi; jasa dan dosa; legal dan moral; segera dan hati-hati; dan banyak lagi. Suatu konstruksi dari etnomusikolog, jurnalis, ekonom, atau politisi dapat membantu pemahaman publik di satu sisi, bisa pula menyesatkan di sisi lain. Kita dituntut menimbang secara arif dan cerdas, bukan hanya dari suatu ruang dan waktu, tetapi dari ruang ke ruang dan waktu ke waktu.

M
embaca tulisan Farida Indriastuti (Bentara, 3 November), yang didahului oleh Maria Hartiningsih (26 Oktober) di harian ini, hati saya mendua. Di satu sisi gembira karena makin tumbuh kalangan luar yang peduli kesenian tradisional—ada ratusan jenis kesenian atau ribuan seniman senasib gandrung Banyuwangi dan penari Temu yang memerlukan perhatian. Kegembiraan bertambah demi melihat besarnya tanggapan publik di beberapa situs internet, selain banyak telepon, SMS, dan surel yang saya terima. Di sisi lain saya kecewa. "Data" yang dikumpulkan Farida dan dicutat Maria, menurut saya, "jauh panggang dari api". eterlibatan saya pada seni tradisi merentang panjang: dari mulai ngamen di desa, menggarap sajian baru, mengajar, meneliti, memublikasikan, mengadakan revitalisasi, sampai mengorganisasi pertunjukan ke luar negeri—untuk sekadar menjelaskan mengapa saya merasa berkepentingan menanggapi tulisan mereka. Saya tidak mewakili lembaga; tidak lagi berwenang untuk itu. Tulisan ini sepenuhnya persepsi dan tanggung jawab pribadi, walau di sana-sini saya memakai kata kami ketika memang terlibat. Salah satu topik pokok yang disoroti Farida dan Maria adalah CD musik Gandrung Temu yang, menurut para jurnalis-peneliti itu, laris sekali di luar negeri. CD itu, Songs Before Dawn: Gandrung Banyuwangi, adalah Volume 1 dari 20 CD seri Music of Indonesia (MOI) yang diterbitkan Smithsonian Folkways Records di Amerika Serikat. Pemimpin proyek MOI adalah Philip Yampolsky, etnomusikolog yang telah bertahun-tahun mempelajari musik Indonesia. Dialah pula pelaksana perekaman dan penulisannya, dibantu puluhan seniman-etnomusikolog Indonesia. Smithsonian bekerja-sama dengan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) sebagai mitra dan sponsor Philip untuk kerja-lapangan di Indonesia. Image Terbitan pertama MOI Smithsonian tahun 1991 hanya tiga volume. Sedangkan 17 volume berikutnya diterbitkan dalam kurun lima tahun (1992-1997). Pemilihan dan penomoran volume tidak berdasar pada tingkatan nilai musik, melainkan pada kesiapannya saja. Pandangan etnomusikologi tidak membedakan harkat-derajat musik. Di Indonesia penerbitannya dilakukan oleh Seri Musik Indonesia (SMI), lembaga khusus milik MSPI, untuk wilayah Indonesia dan Malaysia. Sampai kini SMI baru menerbitkan 10 volume: enam volume tahun 1997 dan empat volume tahun 1999. SMI-MSPI mendapat dukungan dana dari Ford Foundation, demikian pula Smithsonian, untuk proyek MOI. Ketiga lembaga ini bukan perusahaan rekaman, melainkan LSM (NGO-NPO). Smithsonian sangat besar: memiliki museum, kearsipan audiovisual, penelitian/kajian, festival, dan lain-lain. Pengelola bidang rekaman, Folkways Records. Tujuan dasar MOI adalah memperluas pengetahuan kebudayaan masyarakat yang beragam melalui pengadaan materi dan penumbuhan akses yang akan memberi sumbangan pada vitalitas dan kualitas kehidupan di dunia. Di situlah persamaan misi Smithsonian dengan SMI-MSPI. Di situlah pula terkandung "tujuan pendidikan" walau kedua lembaga itu tidak membangun sekolah.

Produk dan Pasar Rekaman SMI (Smithsonian-MSPI) mudah dibedakan dari produk pasar. Musik yang direkam Philip dan teman-teman tidak melalui "pengembangan", misalnya, dengan diatur ulang oleh komposer modern. Semua dimainkan sewajarnya oleh para seniman yang biasanya. Engineering suara jelas dilakukan, tetapi "elektronisasi"—umpamanya mempertinggi bass dan treble, reverberasi, dan lain-lain, sehingga suaranya "lebih bergema" seperti pada umumnya rekaman pasaran—tidak ada. Penulisan naskahnya panjang lebar, dalam bahasa Inggris dan Indonesia, berisi analisis teknis dan konteks sosial yang juga tak terdapat dalam produk pasaran. Ketika SMI mau diluncurkan, banyak kritik: isi musiknya dianggap "akademis", datar, atau sederhana. Agar laku, menurut kritik itu, SMI harus dimodifikasi atau dicampur dengan musik garapan baru yang "atraktif". Tetapi misi kami, walau ingin laku, bukan dengan larut pada selera pasar, melainkan dengan menawarkan "selera baru". Memberi akses pada kebutuhan "kecil" adalah perlu dengan berharap bisa membangun pasar "yang-berbeda", tumbuhnya kesadaran pada musik-musik yang selama itu dianggap "tidak berkembang". Jenis musik yang direkam bukan yang telah banyak dipublikasikan, seperti gamelan Jawa dan Bali, atau tembang Sunda. Musik-musik dari Nias, Mentawai, Biak, umpamanya, masuk dalam program terbitan. Album-album SMI tak banyak terjual. Dari sekitar 2.200 keping masing-masing CD dan kaset versi Indonesia, selama 10 tahun hanya sekitar setengahnya terjual di pasar. Yang lainnya diberikan gratis atau dijual dengan subsidi pada pihak-pihak yang memerlukan (misalnya guru/dosen kesenian). Untuk distribusi di pasar umum, SMI bekerja sama dengan Dian Records. Pada awal terbit Dian menyebarkan ke seluruh agennya di berbagai wilayah. Empat bulan kemudian sekitar 80 persen kaset itu kembali. Toko-toko hanya mau memajang tiga bulan. Mereka konon tak punya ruang pajang, terdesak oleh produk yang lebih laris, dan kami membayar biaya pengiriman dan pengembalian. Selain di pasar umum, SMI membuka outlet khusus, seperti di universitas, galeri, toko buku, taman budaya, hotel, kafe, dan sebagainya. Harapannya, di luar pasar konvensional terdapat komunitas yang memerlukan. Hasilnya? Tetap sedikit; bahkan di bawah penjualan Dian. Hasil penjualan bruto untuk biaya overhead pun tak cukup. Jika sampai sekarang SMI baru menerbitkan 10 volume, padahal MOI 20 volume, selain kendala teknis juga adalah perhitungan "bisnis" di mana 10 volume pertama belum terjual baik. Situasi itu menunjukkan bahwa SMI-MSPI tak bisa hidup dengan andalan hasil jualan selama belum terbangun pasarnya. Sejak didirikan pendanaan MSPI didapat dari donatur filantropis Ford Foundation yang paling peduli terhadap tujuan kami, yakni untuk penguatan nilai sosial-budaya. Bahkan, lembaga yang dibantu Ford tidak boleh berorientasi pada laba. Singkatnya, tanpa bantuan Ford, SMI-MSPI, juga Folkways-Smithsonian, tidak akan bisa mewujudkan 20 volume MOI.

Hitung-menghitung dan Amazon.com Durasi musik yang direkam Philip sekitar 360 jam. Yang diterbitkan 20 volume (25 jam), sekitar tujuh persen saja. Sisanya yang 335 jam dimiliki SMI-MSPI dalam kepingan DVD dan hardisk, dan telah pula diberikan pada Perpustakaan Nasional sebagai arsip negara. Dokumentasi seperti itu menurut kami sangat perlu sebagai sumber studi yang memungkinkan kita bisa "mendengar budaya" dari sekian banyak masyarakat negeri. Jika sekarang kita tidak atau belum merasa penting, siapa tahu 100 tahun ke depan. Lembaga nonprofit juga jualan—dan itu berlaku di mana- mana. MSPI, LKIS, Desantara, ATL, misalnya, menerbitkan buku yang dijual di pasar. Majalah kesenian Gong, suatu misal lain yang saya kelola, juga dijual. Setelah delapan tahun berjalan, hasil penjualan dan iklan Gong baru sekitar sepertiga dari biaya produksi. ImageMarc Perlman, profesor etnomusikologi Brown University, AS, pernah menyampaikan bahwa penerbitan musik-musik tradisi di mana-mana sampai sekarang masih bersandar pada bantuan lembaga donor. Marc kini di Washington DC, "kuliah" pascadoktor tentang copyright, dan di antaranya mengadakan studi MOI di Smithsonian. Analisisnya yang khusus mengenai Songs Before Dawn seperti berikut. Menurut Smithsonian/Folkways, biaya memproduksi satu volume MOI sekitar 50.000 dollar AS. Dalam kurun waktu 16 tahun (1991-2006), penjualan CD Songs Before Dawn tidak melebihi 4.250 keping—jika dirata-ratakan 266 keping saban tahun. Anthony Seeger, mantan direktur Smithsonian-Folkways yang kini menjadi profesor etnomusikologi UCLA, kepada Philip Yampolsky menguatkannya: "Tak ada satu pun volume MOI yang dicetak lebih dari 5.000 keping." Makin lama indeks penjualan menurun. Sejak tahun 2003, penjualan Songs Before Dawn rata-rata 60 keping per tahun. Marc kemudian memprediksi BEP: dari harga eceran 16,98 dollar AS, labanya dihitung 5 dollar AS. Laba sekarang 4.250 x 5 dollar AS = 21.250 dollar AS; defisitnya 28,750 dollar AS (50.000-21.250). Jika dari sekarang ke depan diambil angka 60 keping per tahun (300 dollar AS), maka BEP akan tercapai 96 tahun lagi (28.750 dibagi 300). Jika bantuan Ford sebanyak 650.000 dollar AS (untuk 10 tahun penelitian, perekaman, dan pembelian peralatan) juga dari Smithsonian, maka biaya produksi satu album MOI adalah 82.500 dollar AS dan BEP-nya baru akan tercapai dalam 204 tahun lagi, atau 220 tahun dari mulai diterbitkannya. Dari mana uang untuk menutupi kerugian Smithsonian atas produksi MOI? Mungkin dari keuntungan yang didapat dari penjualan CD lain (bukan Indonesia) yang laku di atas 10.000 keping sehingga bisa subsidi-silang. Tetapi, sebagian besar dana didapat dari para donor yang peduli terhadap misi kultural. Serupa itu pula perhitungan bisnis di Indonesia. Adi Nugroho, pemilik perusahaan rekaman Dian Records, pada awal negosiasi SMI mengatakan bahwa dari aspek bisnis ia tidak tertarik. Ia yakin SMI tidak akan laris. Ia melakukannya karena melihat "produk ini memiliki harkat tersendiri, yang bisa menumbuhkan wawasan keanekaan budaya bangsa. Saya merasa bangga walau tidak untung". Maka, ketika melihat data "fantastis" yang ditunjukkan Farida, saya tersentak karena bertolak belakang dengan pandangan selama ini. Saya lakukan penelusuran pada sumber data yang didapatkan Farida, yang menurut Desantara adalah hasil para peserta "pelatihan jurnalistik perempuan multikultural berbasis etnografi" yang diadakan Kajian Perempuan Desantara di mana Maria Hartiningsih adalah salah seorang fasilitatornya. Amazon.com didirikan tahun 1994 di Amerika, baru launching tahun 1995. Mustahil apa yang ditulis Farida "Pada medio Juli 1992, amazon.com (AS) mencatat angka penjualan album CD Song Before Dawn sebanyak 284.999 keping (dalam tempo 24 jam)". Apalagi Amazon.com di Perancis disebutkannya tahun 1991. Baiklah, angka tahun: mustahil itu, barangkali cuma salah ketik. Tetapi, tampaknya ada kesalahan yang menurut ukuran penelitian sangat "dahsyat": Amazon.com sama sekali tidak merilis angka penjualan suatu barang. Yang saya temukan adalah angka-angka peringkat (sales rank), yang jumlahnya enam digit seperti angka Farida. Angka peringkatan berubah-ubah: CD Gandrung tanggal 4 November (pukul 18:39) adalah 160.284; 6 November pukul 09:18 menjadi 175.107, dan 3,5 jam berikutnya (12:48) adalah 176.112. Artinya, bukan pada 6 November pukul 09:18 terjual 175.107 keping dan pukul 12:48 176.112 keping, melainkan rankingnya turun—entah dari berapa totalnya; tetapi makin tinggi angkanya makin rendah jumlah-relatif penjualannya. Kita tidak bisa menyimpulkan jumlah keping yang terjual. Farida bisa? Seandainya asumsi saya benar, Farida membaca sales rank sebagai keping penjualan, maka angkanya itu absurd dan salah fatal. Bahkan, bisa disebut "provokatif" kalau bukan "fitnah" karena begitu mencolok: mengentak hati pembaca, menggerahkan publik. Saya tidak menganggapnya sebagai pemalsuan angka yang jahat, tetapi kesalahan bodoh karena ceroboh. Jika sebaliknya Farida benar, saya akan merasa bloon, demikian juga Marc bisa disebut peneliti "bodoh", yang menghitung penghasilan bersih Smithsonian dari CD Song Before Dawn sampai kini sekitar 200 juta selama 16 tahun. Sedangkan kalkulasi Farida lebih dari setengah triliun dalam 24 jam dari satu outlet. Berapa pendapatan setahun? Dari puluhan atau ratusan outlet? Entah bagaimana menghitungnya: tetapi cara Farida akan menghasilkan rasio jutaan kali lipat dari cara Marc. Caya terus mencari logika angka-angka Farida: harga CD 16,98 dollar AS; kurs Rp 10.000/dollar AS; Rp 189.900/CD; dan total Rp 550.418.102.000. Saya gagal menemukan keterkaitan keempat figur angka ini. Rumusnya bagaimana? Dari orang-orang bisnis yang saya kenal, tak seorang pun yang menghitung untung dari jumlah jual dikali harga eceran. Biaya produksi, promosi, pengiriman, dan potongan pengecer, umumnya diperhitungkan 40-80 persennya. Jadi, perhitungan Marc lebih dekat dengan logika para pebisnis teman saya.

Refleksi Karena data Farida dicutat pula Maria Hartiningsih, kedua orang ini mestinya turut bertanggung jawab. Bukankah cross-check data merupakan bagian dari tanggung jawab jurnalisme? Apalagi terhadap rumusan-rumusan provokatif. Sambil menunggu klarifikasi, karena saya peneliti, saya merenung tentang apa artinya "penelitian" kesenian/seniman desa seperti Gandrung Temu ini: apa manfaatnya baik bagi peneliti maupun senimannya? Dalam keduanya terdapat unsur saling minta-dan-beri, material maupun imaterial. Adanya diskursus hangat mengenai para seniman dari sudut akademik, media (cetak, rekam), pasar, dan politik sering-sering berada di luar jangkauan akses maupun minat mereka sendiri. Mungkin menguntungkan atau membahagiakan mereka. Mungkin juga sebaliknya: membingungkan, meresahkan, memalukan. Mungkin merekatkan tali hubungan pertemanan, kekeluargaan. Mungkin juga merenggangkan. Itu semua akan tergantung dari orangnya (seniman, peneliti, jurnalis, manajer, birokrat) dan kasusnya dan oleh rapport yang ditumbuhkannya sebagai perwujudan "niat" dan "cara". Untuk mengevaluasi itu tidak sederhana. Setiap tindakan (dan fenomena) memiliki banyak selaput, tipis dan tebal, yang menyelimuti. Setiap lapisan bisa "bersuara" beda sehingga untuk memaknainya ruwet, atau "thick" jika meminjam istilah Clifford Geertz dari metode thick description-nya yang tersohor. Suatu makna tergantung dari konstruksi yang memaknainya: pelaku, penonton, peneliti, maupun jurnalis. Setiap pemakna menjadi subyek: the anthropologist is the author, kata Geertz pula. ImageMelimpah ruahnya informasi yang bisa diakses cepat menciptakan "selaput" yang lebih ruwet sehingga lebih menuntut kepekaan, kecermatan, dan seleksi dalam memaknainya. Di pihak lain, tuntutan fantastis, menarik perhatian, dan segera juga makin tinggi. Tetapi, makin fantastis menyuarakan (konstruksi), risiko fantastis makin tinggi pula. Makin lekat pada "the law of attraction" makin mudah terjebak pada selaput atraktif sehingga luput dari suara selaput-selaput lain. Pasar adalah selaput atraktif. Demikian juga, "perjuangan kemanusiaan". Dilema kita adalah ketika menemukan dan menyikapi tarikan berseberangan: bawah dan elite; promosi dan eksploitasi; jasa dan dosa; legal dan moral; segera dan hati-hati, dan banyak lagi. Suatu konstruksi baik dari etnomusikolog, jurnalis, ekonom, ataupun politisi dapat membantu pemahaman publik di satu sisi, bisa pula menyesatkan di sisi lain. Kita dituntut menimbang secara arif dan cerdas, bukan hanya dari suatu ruang dan waktu, tetapi dari ruang ke ruang dan waktu ke waktu. Saya harap Farida membuktikan dan menjelaskan perhitungannya. Bila ia benar, saya akan bahagia. Bila ia salah, akan sangat memprihatinkan bukan hanya terhadap kesenian, juga pada disiplin penelitian, standar etnografi, etika akademis, dan jurnalisme kita. Endo Suanda. Kompas, Rabu, 28 November 2007 Image