Sinkretisme, Sebuah Solusi |
Justru sinkretisme itulah kenyataan kebudayaan yang paling umum di dunia. Para pengkaji kebudayaan kontemporer sepakat bahwa tidak ada di dunia ini yang tidak sinkretik. Dalam wujudnya yang paling konkret, agama, pengetahuan, modernitas, kesenian, dan etnis adalah hasil perkawinan berbagai unsur. Sehingga, persoalan keaslian dan otentisitas menjadi sesuatu yang diragukan: adakah ia?
Lalu bagaimana dengan puritanisasi yang selalu mengimajinasi, bahkan ingin menegakkan, keaslian? Di sinilah soalnya. Para pengkaji kebudayaan percaya bahwa apa yang dirumuskan sebagai asli, karena perbedaan waktu dan ruang, ternyata adalah fantasi keaslian, bukan keaslian itu sendiri. Di samping karena yang terakhir ini lebih merupakan sesuatu yang tidak mungkin berulang persis seperti adanya, ia adalah hasil percampuran berbagai unsur yang terjadi pada masanya.
Masihkah kita risau apabila panutan kita, Kanjeng Nabi Muhammad, dikirimi al-Fatihah bersama leluhur desa? Apakah kemarahan kita akan tersulut ketika melihat bahwa tasbih dan dupa menjadi kenyataan Islam di suatu tempat? Lebih lanjut, masihkah kita hendak mengembalikan sesuatu pada aslinya? Masihkah pula kita ingin membersihkan sebuah kebudayaan atau kesenian tertentu dari campuran berbagai unsur yang dianggap mengotori sehingga menjadi “bersih” seperti aslinya?
Apakah kita mau mengulang peristiwa Rogojampi awal 2006 lalu yang menimpa endhok-endhokan hanya karena kita ingin membersihkan dan mengembalikan pada keaslian yang sesungguhnya imajinatif? Ketika apa yang kita anggap sebagai asli ternyata adalah imajinasi tentang asli, maka sebenarnya tidak ada cara lain kecuali kita menghormati kreatifitas dan ijtihad baru dalam kebudayaan termasuk dalam kehidupan keberagamaan. Desantara / Bisri Effendy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar